Kementerian Perdagangan memproyeksikan neraca dagang bulan November masih mengalami defisit sekitar US$ 2 miliar. Hal itu disinyalir karena menurunnya ekspor komoditas batu bara Indonesia ke Tiongkok, sejalan dengan menurunnya kebutuhan dan produksi baja Negeri Tirai Bambu.
Jika terbukti, maka ini akan menjadi defisit neraca perdagangan untuk yang ke delapan kali sepanjang Januari hingga November 2018.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan menyatakan Tiongkok sedang menghadapi tudingan produksi baja Tiongkok yang berlebihan. "Mereka mengurangi produksi sampai 30%," kata Oke kepada Katadata.co.id di Jakarta, Minggu (16/12).
Karenanya, banyak pabrik baja menghentikan kegiatan operasional dan berdampak kepada ekspor batu bara Indonesia. Permintaan Tiongkok terhadap batu bara yang berkurang. Akibatnya neraca dagang nonmigas pun diperkirakan defisit sekitar US$ 500 juta.
(Baca: Neraca Dagang Surplus, Sri Mulyani Sebut Impor RI Masih Tinggi)
Selain itu, defisit juga diperkirakan disumbang dari menurunnya ekspor timah yang sekarang hanya boleh melalui PT Timah. Sebab, kewenangan Surveyor Indonesia (SI) yang melakukan verifikasi biji timah dicabut secara temporer.
Sedangkan untuk komoidtas sawit, dia menyebutkan ada peningkatan ekspor pada November, terutama ke Tiongkok. Sayangnya, peningkatan ekspor tersebut tak diimbangi dengan impor bahan baku industri.
Padahal strategi memperbaiki neraca dagang hanya bisa dilakukan melalui peningkatan ekspor. "Kami tidak bisa menahan impor karena bisa mengorbankan industri, padahal kita harus terus mendorong manufaktur untuk ekspor," ujar Oke.
(Baca: Impor Melonjak, Darmin Sebut karena Dampak Pertumbuhan Ekonomi)
Dia menyebutkan, impor barang modal dan bahan baku penolong bisa mencapai sekitar 90%, sisanya merupakan barang konsumsi. Jika pemerintah menghentikan impor barang modal dan bahan baku penolong, industri dalam negeri bakal terancam yang berakibat pada terhambatnya proses produksi hingga ekspor produk manufaktur.
Menurut Oke, pemerintah terus mencoba untuk mengendalikan impor barang konsumsi, meski dampaknya tak terlalu signifikan karena porsinya yang hanya sekitar 10%.