Ekspor Sawit Oktober Naik 5% Terdorong Lonjakan Permintaan Tiongkok

Agung Samosir | KATADATA
Crude Palm Oil. Produk crude palm oil yang berbahan dasar kelapa sawit dari kabupaten Landak di stand Provinsi Kalimantan Barat pada pameran Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) di Ji-Expo, Kemayoran, Jakarta, Rabu (15/5).
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
30/11/2018, 16.22 WIB

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat ekspor produk kelapa sawit dan turunan pada periode Oktober 2018  mencapai 3,35 juta ton, naik 5% dibandingkan September  sebesar 3,19 juta ton. Peningkatan ekspor periode tersebut salah satunya terbantu oleh melonjaknya permintaan Tiongkok di tengah ketidakpastian perdagangan global.

Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menyatakan komposisi ekspor Oktober 2018 terdiri dari minyak kelapa sawit (CPO) 760,82 ribu ton (24%) dan produk turunannya 2,34 juta ton (76%). "Pasar sawit global menggeliat karena permintaan Tiongkok yang meningkat sangat signifikan," kata Mukti dalam keterangan resmi, Jumat (30/11).

Menurutnya, kenaikan penggunaan minyak sawit di Tiongkok  disinyalir karena adanya pengurangan pasokan kedelai dari Amerika Serikat sebagai efek perang dagang. "Tiongkok juga mengurangi impor rapeseed meal dari India untuk pakan ternak ruminansia dan unggas," ujar Mukti.

(Baca: Pemerintah Lirik Pasar Baru untuk Ekspor Sawit)

Hal itu di satu sisi memberi keuntungan, sebab Tiongkok meningkatkan impor CPO dari Indonesia hingga 63%, dari 332,52 ribu ton pada bulan September  menjadi 541.81 ribu ton per Oktober. Belum lagi dengan adanya tambahan impor biodiesel Indonesia yang sudah mencapai 647,34 ribu ton sepanjang periode Mei hingga Oktober 2018.

Biodiesel menjadi produk sawit yang berpotensi di pasarkan ke depan karena Tiongkok mulai mempromosikan penggunaan biodiesel dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca. Proyek percontohan B5 telah dilakukan di Shanghai dan akan terus dipromosikan secara luas di Negeri Panda.

Selain Tiongkok, ekspor sawit Indonesia juga meningkat ke Pakistan sebesar 76%menjadi 246,97 ribu ton.  Jumlah ini merupakan pengiriman terbesar selama 4 tahun terakhir. Harganya yang murah menjadi daya tarik utama yang mendorong meningkatnya permintaan Pakistan. 

(Baca: Harga CPO Anjlok, Pemerintah Bebaskan Sementara Pungutan Ekspor Sawit)

Mukti menyebutkan, ekspor sawit ke AS juga meningkat 129%, dari 58,2 ribu ton menjadi 133,46 ribu ton. "Ekspor ke AS mencatatkan kenaikan meskipun secara volume tidak besar," katanya.

Sebaliknya, ekspor ke India mengalami penuruna sebesar 12%, dari 779,44 ribu ton menjadi 698,17 ribu ton. Penurunan ekspor juga diikuti oleh Uni Eropa yang turun 8% dan Afrika anjlok 40%. Namun secara volume, India tetap menjadi pengimpor minyak sawit tertinggi dari Indonesia.

Dari sisi produksi, sepanjang Oktober, 2018  produksi masih naik 2% dari 4,41 juta ton menjadi 4,51 juta ton. Pada periode Oktober, harga masih bergerak di kisaran US$ 512,50 sampai US$ 537,50 per ton, dengan rata-rata US$ 527.10 per ton.

"Harga CPO global terus tertekan karena harga minyak nabati lain yang sedang jatuh khususnya kedelai dan stok minyak sawit yang masih cukup melimpah di Indonesia dan Malaysia ," ujar Mukti.

Reporter: Michael Reily