Pemerintah dinilai perlu terus menodorong pengembangan nilai tambah dan mata rantai produk industri manufaktur nasional. Hal itu diperlukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan industri  manufaktur sebagai kontributor utama  perekonomian Indonesia dengan rata-rata pertumbuhan 20%.

Peningkatan nilai tambah produk juga diperlukan untuk menghadapi persaingan industri manufaktur dunia yang semakin kompetitif.

Terdapat lima sektor industri andalan yang menjadi fokus pemerintah saat ini. Kelimanya adalah industri makanan dan minuman  dengan rata-rata pertumbuhan industri 9%; industri alat angkutan 3,8%; barang logam, komputer, elektronik, mesin, dan perlengkapan 3,4%; kimia 2,6%; serta tektil dan pakaian jadi 1,5%.

Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan pemerintah harus mulai menimbang sektor yang punya nilai tambah tinggi dalam jaringan permintaan global. "Sektor elektronik jadi salah satu yang sensitif khususnya pada era perang dagang," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Selasa (23/10).

(Baca: Ini 5 Sektor Unggulan Industri yang Diprediksi Serap 17 Juta Pekerja)

Alasannya, komponen elektronik  memiliki nilai produksi lebih tinggi dibanding sektor lain. Terlebih lagi ketika terjadi pelemahan rupiah, maka modal usaha  industri eletronik  semakin meningkat seiring dengan kenaikan biaya produksi akibat pembelian bahan baku impor.

Karenanya, dia menilai pemerintah harus mulai  memeperhatikan ketersediaan rantai pasok bahan baku dalam negeri, di samping juga mengembangkan sektor industri yang berpotensi memiliki permintaan tinggi di pasar dunia. "Kalau alat elektronik kita pasti semakin tertinggal dibandingkan Vietnam dan Thailand," ujar Bhima.

Untuk tekstil dan pakaian jadi, Bhima pun menilai pemerintah  harus lebih memutar otak agar  industrinya semakin menarik  dan berdaya saing dalam perdagangan global. Sebab, saat ini sudah banyak perusahaan retail besar dunia  mulai melirik negara lain seperti Bangladesh karena lebih menguntungkan.

Sementara untuk komoditas perkebunan seperti sawit dan minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), Bhima memberi catatan bahwa pemerintah perlu terus mendorong hilirisasi dam diversifikasi. Sebab, kebutuhan CPO ini tak melulu untuk sektor makanan dan minuman, tetapi juga sebagai produk oleokimia dan kosmetik sehingga demandnya akan cukup besar.

(Baca : JK Harap Penerapan Industri 4.0 Perhatikan Penyerapan Tenaga Kerja)

Tak hanya itu, industri lain yang perlu mendapat perhatian serius juga  contohnya petrokimia dan minyak dan gas yang masih kompetitif. Namun demikian, dengan investasi yang cukup mahal untuk pengembangan sektor tersebut maka pemerintah perlu menyuntik sejumlah insentif fiskal untuk menarik  lebih banyak investor.

Alasannya, kebijakan insentif fiskal yang ditetapkan pemerintah masih terlalu umum sehingga pemodal tak mendapatkan gambaran keuntungan yang jelas. "Kita harus membuat kebijakan fiskal yang spesifik supaya lebih menarik," kata Bhima lagi.

Fokus pengembangan industri petrokimia juga bisa dibarengi dengan  pengembangan  kawasan ekonomi khusus dengan infrastruktur fisik pendukung dan teknologi industri. "Kawasan industri itu tulang punggung ekonomi, jadi harus ada dasarnya supaya aktivitas meningkat," ujarnya.

Dia pun mengungkapkan pemerintah harus lebih membuka diri terhadap industri digital asing. Namun, harus ada regulasi yang melindungi industri dalam negeri supaya tidak kebutuhan nasional tidak ketergantungan terhadap produk impor.

Dalam paparan kinerja 4 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan industri manufaktur adalah kontributor ekonomi terbesar Indonesia dengan rata-rata pertumbuhan 20%.

Pada semester pertama 2018, lima besar kontribusi industri terhadap pertumbuhan ekonomi masih pada sektor yang sama. Makanan dan minuman 6,3%; kimia 2,9%; barang logam, komputer, elektronik, mesin, dan perlengkapan 2,08%; alat angkutan 1,76%; tekstil dan pakaian jadi 1,13%. "Sektor ini yang akan menjadi fokus pada industri 4.0 di Indonesia," kata Airlangga.

Dia juga menyebutkan rata-rata pertumbuhan industri manufaktur nonmigas selama 4 tahun sebesar 4,9%, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Ekspor industri manufaktur pun secara konsisten berada dalam porsi sebesar 70% dari total ekspor.

Airlangga mencatat, investasi sektor industri sejak 2014 hingga semester pertama 2018 sebesar Rp 1.159 triliun.  Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada semester pertama 2018, lima sektor yang menerima investasi paling besar masih dipegang oleh makanan dan minuman; kimia; barang logam, komputer, elektronik, mesin, dan perlengkapan; alat angkutan; serta tekstil dan pakaian jadi.

Kementerian Perindustrian pun mengaku telah mengembangkan 13 kawasan industri baru dan 22 sentra industri kecil dan menengah. Program vokasi industri juga telah menghubungkan 608 unit kerja sama industri dengan 1.753 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).