Pemerintah perlu waspadai potensi pelebaran defisit neraca perdagangan kuartal akhir tahun ini. Sebab, meskipun September 2018 neraca perdagangan mampu mencetak surplus US$ 230 juta, secara kumulatif diperkirakan belum akan banyak membantu kinerja ekspor-impor.
Secara kumulatif (Januari-September 2018), defisit neraca perdagangan pada telah mencapai US$ 3,78 miliar. Capaian tersebut merupakan yang terburuk jika dibandingkan dengan periode Januari-September empat tahun terakhir.
Menurut data BPS, neraca dagang Januari-September 2017 mencatat surplus US$ 10,86 miliar, tahun 2016 surplus US$ 6,41 miliar, dan 2015 surplus US$ 7,22 miliar.
(Baca: Neraca Dagang Surplus, Sri Mulyani Sebut Impor RI Masih Tinggi)
Terkait kondisi tersebut, beberapa pengamat mulai menghidupkan alarm untuk waspadai pelebaran defisit perdagangan pada kuartal akhir 2018 karena kebutuhan komoditas impor yang tinggi serta ketidakpastian global. Pelemahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di satu sisi juga dinilai akan semakin membebani impor, bukan memacu ekspor.
Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menduga permintaan domestik terhadap barang impor pendukung kegiatan ekonomi dan juga stabilisasi suplai pangan dalam negeri akan tetap tinggi. Ekspor juga akan tertahan, akibat proteksi pasar global.
"Perhitungannya, impor akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan ekspor," kata Myrdal, Senin (15/10).
Dia juga menjelaskan, ekspor Indonesia masih tergantung pada komoditas primer seperti batu bara, minyak kelapa sawit, karet, dan nikel. Padahal, tren global harga komoditas unggulan tersebut masih rendah dan belum menunjukkan peningkatan signifikan.
Selain itu, perang dagang AS dan Tiongkok masih terus memanas dengan kebijakan penetapan tarif yang tinggi antara kedua negara. Myrdal pun memperkirakan persaingan kedua kekuatan ekonomi global dapat mengganggu perdagangan global serta prospek ekonomi negara berkembang lainnya.
Ekonom Institute of Development for Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira pun mengungkapkan, impor migas akan terus naik karena pelemahan kurs rupiah. Tekanan impor kian berat karena sepanjang 12 bulan terakhir, harga minyak brent meningkat hingga 40%.
Di sisi lain, impor nonmigas, khususnya kategori barang konsumsi masih akan tumbuh. Meski sudah mulai berdampak, Bhima menjelaskan importir masih butuh waktu untuk melakukan penyesuaian dengan kebijakan peningkatan 1.147 komoditas dalam PPh Pasal 22.
Menurut Bhima, defisit akan terjadi secara konsisten sampai akhir tahun karena permintaan domestik terhadap komoditas impor jelang Natal dan Tahun Baru 2019 diprediksi meningkat. "Industri akan menghindari pelemahan kurs yang lebih dalam," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan, Kasan, memperkirakan pengendalian impor pemerintah sudah mulai terlihat, meski belum signifikan. Selain PPh Pasal 22, regulasi mandatori B20 ditargetkan bisa menekan impor pada bulan Oktober.
Menurut catatannya, impor pada Juli dengan senilai US$ 18,30 miliar, masih merupakan yang tertinggi selama 10 tahun terakhir. Hal itu berkaitan dengan besarnya kebutuhan impor menjelang perhelatan internasional : Asian Games 2018, Asian Para Games 2018, serta Pertemuan Tahunan IMF-WBG. Meski demikian, Kasan cukup optimistis nilai impor dapat ditekan sampai akhir tahun.
Tantangan Ekspor
Selain mewaspadai kebutuhan bahan impor dalam negeri di akhir tahun, Indonesia juga memiliki tantangan terkait pengembangan ekspor, terutama dalam hal persaingan dengan negara lain.
Kasan meminta supaya para eksportir memandang faktor nilai tukar sebagai kesempatan lebih besar untuk meningkatkan pendapatan ekspor yang lebih besar.
Kementerian Perdagangan berupaya akses pasar global dan menyelesaikan pembahasan perjanjian perdagangan dalam bentuk kerja sama bilateral. "Meski hasilnya tidak bisa dilihat dalam waktu dekat, membangun fondasi supaya bisa bersaing dengan negara lain itu penting," kata Kasan.
(Baca: Ekspor RI Menyusut 6,58% di September 2018)
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Kamdani menjelaskan pelaku usaha mulai kesulitan mengimpor impor bahan baku pada bulan September yang berpengaruh terhadap produksi barang untuk ekspor.
Namun, Shinta tetap optimistis ekspor Indonesia akan ada perbaikan, terutama pada sektor nonmigas. Salah satu momentum yang dinilainya bisa menjaring pembeli luar yaitu melalui pameran perdagangan Trade Expo Indonesia (TEI) 2018. "Kami mencoba menggenjot ekspor," ujarnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2018 ekspor Indonesia tercatat sebesar US$ 14,83 miliar, turun 6,58% dibandingkan Agustus 2018 dengan capaian US$ 15,87 miliar. Penurunan ekspor terjadi di lini nonmigas sebesar 5,67% dan sektor migas 15,81%.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti menyatakan penurunan ekspor dan impor pada bulan lalu banyak terpengaruh oleh situasi global.