Penerapan industri 4.0 yang bertumpu pada inovasi dan pekerja formal pada lima sektor industri unggulan diyakini tak akan menggerus jumlah tenaga kerja. Kelima industri tersebut - makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronik, dan kimia- diperkirakan tetap membutuhkan 17 juta tenaga kerja hingga 2030 mendatang.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan potensi pengembangan industri unggulan tersebut nilainya bisa mencapai sebesar US$ 200 miliar. “Industri 4.0 penting untuk perubahan peradaban,” kata Airlangga dalam seminar Indonesia Economic Outlook di Jakarta, Senin (24/9).
Dia menekankan, kelima industri tersebut mampu diklaim mampu bertumbuh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi yang berkisar 5%. Sehingga, pemerintah berupaya mndorong dengan menciptakan iklim bisnis kondusif agar bisa menarik investasi dan mendorong pengembangan industri.
(Baca : JK Harap Penerapan Industri 4.0 Perhatikan Penyerapan Tenaga Kerja)
Salah satu langkah yang telah diselesaikan pemerintah dalam kaitannya mendorong investasi sektor industri adalah dengan merampungkan aturan super deductible tax untuk investasi dalam bidang inovasi dan vokasi. “Tinggal tunggu pengesahannya di Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah menyebut akan memberikan kemudahan akses pada perolehan bahan baku, pengembangan kawasan industri, keberlanjutan bisnis, inklusivitas Usaha Kecil dan Menengah, dan infrastruktur digital. Airlangga menyebut, kelima industri menyumbang 60% pertumbuhan manufaktur dan 65% produksinya merupakan hasil ekspor.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjelaskan pihaknya terus mendorong penyelesaian perjanjian dagang internasional. Dengan masuknya Indonesia sebagai anggota perjanjian dagang internasional, Indonesia akan diuntungkan dengan diperolehnya pembebasan bea masuk sehingga dampaknya diharapkan bisa memicu peningkatan ekspor produk andalan Indonesia.
(Baca juga: Buruh Khawatirkan Dampak Penerapan Industri 4.0)
Peningkatan investasi industri dan pengembangan ekspor menjadi salah syarat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Lapangan pekerjaan juga merupakan jaminan peningkatan daya beli masyarakat,” kata Enggar.
Namun demikian, Peneliti Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Febrio Kacaribu mengungkapkan target pemerintah untuk industri manufaktur juga perlu dukungan pengusaha. Alasannya, industri manufaktur secara keseluruhan hanya tumbuh sekitar 4% dalam 5 tahun terakhir.
"Loncat ke 5% cukup berat, tetapi kami lihat mungkin bisa naik dengan kebijakan pemerintah yang lebih targeted," ujar Febrio.
Dia menilai implementasi 16 paket kebijakan masih memiliki kendala. Terutama tentang pengelolaan dan pengembangan kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri.
Febrio meminta pengelolaan dan pengembangan kawasan ekonomi harus melibatkan investor sesuai kebutuhan dan masukan pengguna. Peran vital pemerintah pun harus menjanjikan evolusi karena banyaknya jumlah pekerja informal.
“Kita jelas butuh untuk membangkitkan industri manufaktur,” katanya.