Pemindahan Pemeriksaan Impor Baja ke Pusat Logistik Picu Masalah Baru

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Pekerja membantu bongkar muat gulungan besi baja di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (4/4/2018).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
20/9/2018, 11.24 WIB

Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim menilai wacana perubahan peraturan pemeriksaan impor besi dan baja dari post-border ke Pusat Logistik Berikat (PLB) tidak tepat. Rencana tersebut dinilai tak memecahkan lemahnya pengawasan di post-border.

Bahkan, menurut Silmy, perubahan tadi berpicu memicu masalah baru. Misalnya, biaya impor baja dan besi semakin tinggi. Sebab, para importir  perlu menyewa tempat di kawasan Pusat Logistik. “Jadi tidak kompetitif lagi,” kata Silmy di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu (19/9).

Atas dasar itu, Silmy menyarankan proses pemeriksaan impor besi dan baja dikembalikan ke kawasan kepabeanan (border). Dengan demikian, pengawasannya lebih ketat tanpa harus memakan biaya tinggi. (Baca juga: Pusat Logistik Berikat Diperluas untuk E-Commerce hingga Minuman Keras).

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan berencana mengubah pemeriksaan impor besi dan baja dari post-border ke Pusat Logistik untuk memperketat pengawasan sekaligus menekan impor komoditas yang melonjak hingga 598 %. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan impor besi dan baja melonjak tinggi setelah peraturan post-border diimplementasikan sejak 1 Februari 2018.

Selain besi baja, perubahan peraturan impor melalui post-border akan diubah untuk dua komoditas lainnya. “Ada juga minuman beralkohol dan ban,” kata Enggar di Jakarta, Rabu (5/9). (Baca: Impor Besi Baja Melonjak Tajam, Pemerintah Ubah Aturan)

Aturan impor besi dan baja tercantum pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2018. Pergeseran pemeriksanaan ke PLB diharapkan mempermudah dan meningkatkan pengawasan pemerintah terhadap barang impor yang masuk.

Saat ini, pemerintah tengah menggencarkan pengawasan terhadap komoditas impor untuk menghemat devisa negara dan memperbaiki defisit transaksi berjalan. Salah satu pemanfaatan devisa yang juga diperketat adalah penggunaan letter of credit (LC) untuk eksportir berbasis sumber daya alam berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 4 Tahun 2015.

“Kami pasikan devisa hasil ekspor tetap berada di Indonesia untuk kemudahan monitor,” ujar Enggar. (Baca juga: Ekspor Turun, Neraca Dagang Agustus 2018 Defisit US$ 1,02 Miliar)

Selain itu, Kementerian Perdagangan akan merelaksasi ekspor untuk trader batu bara dan rotan kayu setengah jadi. Kemudahan ekspor untuk komoditas yang banyak diminati di luar negeri dapat membantu menggenjot surplus neraca perdagangan. Upaya menekan impor dan menggenjot ekspor ini menjadi fokus pemerintah dalam memulihkan nilai tukar rupiah.