Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok tak selalu membawa dampak negatif bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sebab, sebagai negara tujuan ekspor terbesar, AS dan Tiongkok memiliki sejumlah peluang yang seharusnya bisa dengan jeli dimanfaatkan untuk memaksimalkan ekspor komoditas Indonesia ke dua negara tersebut.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan, Kasan, menyatakan AS dan Tiongkok masing-masing memiliki porsi sebesar 10,5% dan 13,7% terhadap nilai ekspor Indonesia tahun lalu yang mencapai US$ 168,8 miliar.
"Kedua negara merupakan tujuan ekspor yang sangat penting," kata Kasan di Jakarta, Selasa (18/9).
(Baca : Dorong Ekspor, Pengusaha Minta Pemerintah Perkuat Industri Manufaktur)
Karenanya, pemerintah dan pelaku usaha seharusnya mampu mengambil kesempatan dari kondisi perang dagang kedua negara. Sebab, menurut kajian Kementerian Perdagangan, memanasnya hubungan dagang AS dan Tiongkok berpotensi menyebabkan ekspor AS ke Tiongkok turun mencapai US$ 7,9 miliar, sebaliknyaekspor Tiongkok ke AS diperkirakan menglami penurunan sebesar US$ 5,3 miliar.
Dengan berkurangnya potensi perdagangan kedua negara, maka Indonesia memiliki kesempatan untuk masuk ke pasar masing-masing negara. Misalnya, untuk pasar Tiongkok, Indonesia bisa masuk mengambil alih pasar AS melalui ekspor komoditas buah-buahan, benda dari besi baja, serta aluminium.
Dibandingkan dengan pangsa pasar impor Tiongkok, ekspor buah-buahan Indonesia sebesar US$ 90,9 juta atau hanya sekitar 1,43%. Sedangkan ekspor buah-buahan AS ke Tiongkok bisa mencapai US$ 755,1 juta atau meraih pangsa pasar sekitar 12,03%.
Begitu pun dengan benda dari besi baja ke Tiongkok, ekspor Indonesia hanya US$ 0,3 juta dengan pangsa 0,03%. Padahal, AS mampu mengekspor sebesar US$ 115,2 juta dengan pangsa mencapai 12,68%. Untuk aluminium, Indonesia baru mampu mengekspor US$ 1,1 juta dengan pangsa 0,04%, jauh dari AS yang bisa ekspor dengan nilai US$ 832,3 juta dengan pangsa 29,44%.
(Baca : Ekspor Turun, Neraca Dagang Agustus 2018 Defisit US$ 1,02 Miliar)
Sebaliknya, kesempatan komoditas Indonesia masuk ke pasar AS dalam rangka merebut pasar Tiongkok bisa melalui komoditas besi dan baja, produk benda dari besi dan baja, serta aluminum. Sebab, ekspor besi dan baja Indonesia ke AS saat ini masih nihil, padahal Tiongkok sudah mengekspor US$ 3,2 juta dengan pangsa 2,65%.
Sementara itu, produk dari besi dan baja Indonesia ke AS sebesar US$ 8,6 juta dengan pangsa yang sangat kecil 0,09%, berbeda dengan Tiongkok yang sudah mampu ekspor senilai US$ 375,7 juta dengan pangsa 6,75%. Demikian halnya untuk aluminium, Indonesia sudah mengekspor US$ 212,4 juta ke AS dengan pangsa pasar 1,10% dan bisa mengambil porsi Tiongkok yang ekspornya mencapai US$ 2,06 triliun dengan penguasaan pangsa pasar 13,74%.
Selain itu, produk-produk lain ke AS yang bisa dimanfaatkan Indonesia antara lain juga berasal dari komoditas laut seperti udang dan udang galah, minyak sawit, kepiting, karet, benang rajutan katun, pakaian wanita, serta sepatu olahraga. Untuk ke Tiongkok, produk lain yang menjadi potensi Indonesia adalah minyak sawit, bubur kayu, ferronikel, karet mineral, serta produk kayu.
(Baca juga : Trump Kenakan Tarif Baru Rp 2.960 Triliun atas Produk Impor Tiongkok)
Meski begitu, dalam mengambil kesempatan potensi peningkatan ekspor, Indonesia juga masih harus menghadapi persaingan dengan sejumlah negara lain di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Vietnam.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Kiki Verico, mengungkapkan perang tarif antara AS dan Tiongkok bisa berdampak meluas pada perdagangan global. Sebab, kedua negara tercatat menguasai total hampir 40% Produk Domestik Bruto (PDB) dari keseluruhan perdagangan internasional, yang mana khusus untuk AS menguasai sebesar 24,5% dan Tiongkok mencapai 14,8%. Indonesia sendiri hanya punya porsi sebesar 1,2% dari keseluruhan PDB dunia.
Kiki memperingatkan supaya pemerintah dan pelaku usaha mulai bekerja keras meningkatkan ekspor dan mengambil kesempatan dalam perang tarif. Terlebih dengan neraca perdagangan komoditas nonmigas Indonesia sudah menunjukkan tingkat yang cukup mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus neraca dagang nonmigas Januari hingga Agustus 2018 hanya sebesar US$ 4,26 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan surplus neraca dagang nonmigas periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 14,46 miliar.
Kiki juga mengingatkan, persaingan untuk mengambil peluang ekspor implikasi perang dagang tidaklah mudah. Dia menyebut, ekspor ke Tiongkok butuh material dan bahan baku sehingga masih ada ketergantungan dari faktor produksi dan harga patokan dunia. Sedangkan ekspor ke AS juga akan berat karena produk jadi Indonesia bisa tertahan dsan bersaing ketat dengan produk Vietnam.
Karena itu menurutnya, pemerintah dan pelaku usaha mesti mengupayakan peningkatan industri manufaktur berorientasi ekspor dengan bahan baku lokal. "Masalahnya, investasi dalam negeri sendiri tidak jalan untuk peningkatan ekspor," kata Kiki.
Direktur Jenderal Perundingan Perjanjian Internasional, Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo menjelaskan ada 8 langkah yang akan dilakukan pemerintah dalam merespons perang dagang AS dan Tiongkok. Pertama, pendekatan bilateral secara langsung untuk meningkatkan kerja sama dan konsultasi. Kemudian yang kedua adalah peningkatan kegiatan promosi dagang.
Selanjutnya, ketiga, perubahan fokus dari produk komoditas menjadi produk olahan. Keempat, percepatan upaya peningkatan daya saing ekonomi. Kelima, penguatan peranan sektor jasa secara nasional maupun ekspor. Keenam, percepatan penyelesaian perundingan perdagangan internasional.
Ketujuh adalah pengelolaan impor yang lebih baik. "Pengelolaan impor untuk melakukan antisipasi masuknya barang-barang dari AS dan Tiongkok ke Indonesia," ujar Iman.
Terakhir, pemerintah melakukan pendekatan untuk meminimalisir hambatan perdagangan dari negara lain untuk komoditas Indonesia, seperti pertimbangan balasan pembatasan impor buah longan oleh Thailand, kajian perjanjian dagang dengan Jepang, fasilitas bea masuk impor AS melalui Generalized System of Preferences (GSP), serta ancaman untuk menghapus perjanjian dagang oleh Pakistan.
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Handito Joewono mengatakan pengusaha tidak boleh pesimistis dari kondisi perang dagang AS dan Tiongkok sejalan dengan potensinya besar bagi eksportir.
Pelaku usaha pun optimistis ada peningkatan ekspor sebesar 500% mencapai US$ 750 miliar dalam medio 2025 hingga 2030. "Era globalisasi berarti berani menjadi negara industri yang kompetitif untuk bersaing dengan negara-negara lain yang berorientasi ekspor," kata Handito.
Dia juga menyebut ada lima strategi yang bisa digunakan untuk peningkatan ekspor Indonesia, yaitu penambahan jumlah eksportir, diversifikasi produk ekspor, pengembangan pasar ekspor, peningkatan harga ekspor, dan pengembangan ekosistem ekspor. Oleh karena itu, pengusaha butuh kerja sama dari seluruh pihak untuk terobosan akselerasi ekspor.