Dorong Ekspor, Pengusaha Minta Pemerintah Perkuat Industri Manufaktur

Donang Wahyu|KATADATA
Pekerja melakukan pemeriksaan akhir pada kendaraan sedan All New Vios di pabrik Toyota Karawang 2, Kawasan Industri Karawang International Industrial City, Karawang, Jawa Barat.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
18/9/2018, 18.04 WIB

Pelaku usaha minta pemerintah mengoptimalkan kinerja produk ekspor dalam negeri, salah satunya dengan memperkuat industri manufaktur. Hal itu diperlukan untuk mencapai pertumbuhan target ekspor sebesar 11% tahun ini. 

Kinerja ekspor dalam negeri belum menunjukan pertumbuhan menggembirakan. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor dalam negeri per Agustus turun   sebesar 2,90% menjadi US$ 15,82 miliar dibandingkan Juli 2018 yang mencapai US$ 16,29 miliar. Demikian halnya dengan ekspor nonmigas pada Agustus 2018 mencapai US$14,43 miliar, turun 2,86%dibanding Juli 2018.

Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono meminta pemerintah tidak ikut arus perdagangan global. "Niat untuk pembangunan industri manufaktur harus terus dibangun," kata Handito di Jakarta, Selasa (18/9).

(Baca : Ekspor Turun, Neraca Dagang Agustus 2018 Defisit US$ 1,02 Miliar)

Menurutnya, penurunan ekspor pada Agustus 2018 merupakan salah satu siklus yang terjadi pasca-Lebaran. Pada tahun lalu, ekspor pada September menurun jadi US$ 14,58 miliar dari Agustus yang sebesar US$ 15,19 miliar. Begitu juga dengan 2016, ekspor pada September menurun ke US$ 12,58 dari US$ 12,75 miliar.

Menurut catatan BPS, ekspor industri pengolahan pada Agustus 2018 hanya US$ 11,78 miliar atau menurun 0,48% dibandingkan Juli 2018 yang sebesar US$ 11,84 miliar. Padahal, sektor industri berkontribusi  besar terhadap ekspor mencapai 74,47%.

"Masih banyak pekerjaan rumah bagi pengusaha dan pemerintah," ujar Handito.

Senada dengan Handito, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual sebelumnya juga meyinggung masih kurangnya peranan industri manufaktur dalam negeri, khususnya di sektor hulu dan industri antara (intermediete industry).

Hal ini yang kemudian juga menyebabkan Indonesia sulit mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor. Padahal pemerintah sedang menggalakan pengendalian komoditas impor untuk membantu memulihkan defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

(Baca juga : Permintaan Naik, Industri Manufaktur Pacu Produksi Setelah Lebaran)

"Impor bahan baku kemungkinan sulit ditekan, karena akan berdampak pada kegiatan produksi dan melemahkan industri. Sebab, industri antara dalam negeri masih lemah," katanya kepada Katadata, Senin (17/9).

Di sisi lain, dia pun menyebut agak sulit meningkatkan kinerja ekspor dalam jangka pendek sejalan dengan kondisi perdagangan dunia.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan tampak masih cukup optimistis dapat menekan defisit neraca dagang pada empat bulan terakhir di sisa tahun 2018.  Caranya, dengan  meningkatkan ekspor komoditas andalan untuk menekan defiist yang sudah terjadi sebanyak enam kali sepanjang Januari-Agustus 2018. 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan tiga komoditas utama yang terus didorong yakni minyak kelapa sawit, tekstil dan produk tekstil, serta batu bara. "Kuncinya kita akan membuka akses pasar," kata Enggar.

(Baca juga : Kompetisi Pasar Ketat, Ekspor Tekstil Tertekan)

Untuk komoditas sumber daya alam seperti kelapa sawit, Kementerian Perdagangan mengungkapkan ada kewajiban Letter of Credit (L/C) sebesar 50% devisa hasil ekspor harus disimpan di perbankan nasional. Kompensasinya, Bank Indonesia sepakat untuk menyegerakan kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS) . Hal ini menurutnya memudahkan perusahaan berorientasi ekspor untuk memenuhi keperluan dolar.

Selain itu, pembukaan akses pasar untuk produk tekstil dan produk tekstil ke Amerika Serikat (AS) diharapkan bisa meningkatkan penjualan komoditas produk tersebut sebesar 20% hingga 25%. Begitu juga dengan penandatangan perjanjian perdagangan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Australia yang bakal meningkatkan permintaan permintaan tekstil hingga 20%.

Ekspor produk tekstil pada Januari sampai Agustus 2018 meningkat 4,96%  menjadi menjadi US$ 3,20 miliar dibandingkan  periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 3,05 miliar. Sedangkan untuk pakaian kenaikannya lebih besar yakni sekitar 9,08% pada Januari-Agustus 2018 menjadi US$ 5,78 miliar dari US$ 5,30 miliar pada Januari-Agustus 2017.

Tak hanya itu,  ekspor komoditas pertambangan juga akan dipermudah melalui pencabutan moratorium penjualan batu bara lewat trader sebagaimana yang tercantum pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 52 Tahun 2018.

"Sekarang ada kelonggaran karena mereka mengerti mekanisme permintaan dan penjualan secara global," ujarnya.

Bahkan, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewajibkan 25% batu bara nasional menjadi konsumsi dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) juga akan dicabut. Karenanya, dia cukup optimistis ekspor bulan depan akan mulai meningkat.


Reporter: Michael Reily