Impor Migas Tinggi, Neraca Dagang Diprediksi Defisit Hingga Akhir 2018

Dok. KPPIP
Proyek strategis pemerintah Pelabuhan Bitung, merupakan Proyek Strategis Nasional di Provinsi Sulawesi Utara (KEK Bitung dan Pelabuhan Internasional Hub Bitung) senilai Rp 34 triliun dan juga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dengan nilai investasi diperkirakan sekitar Rp 35 triliun.
Penulis: Ekarina
18/9/2018, 10.32 WIB

Neraca perdagangan dalam negeri diramal akan tetap mengalami defisit hingga akhir tahun dengan besaran defisit antara US$ 2 miliar hinga US$ 5 miliar, merosot tajam dibandingkan kondisi perdagangan 2017 yang mencatat surplus sebesar US$ 11,8 miliar. 

Menurut ekonom, kondisi itu dapat terjadi sepanjang pemerintah tak bisa menekan impor minyak dan gas (migas) atau menetapkan kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Di sisi lain, kebijakan pengendalian impor barang konsumsi melalui penyesuaian pph impor pasal 22 juga dinilai tak akan berefek signifikan karena barang konsumsi hanya menyumbang sekitar 10% terhadap total impor dan menyasar komoditas yang tak terlalu dibutuhkan.

(Baca : Defisit Neraca Migas Agustus Membengkak dan Terbesar Sejak Awal Tahun)

"Saya kira defisit perdagangan ini bukan tren musiman dan masih bisa berlanjut terutama jika impor migas terus berlangsung. Hingga akhir tahun, defisit neraca dagang mungkin bisa mencapai US$ 2 miliar hingga US$ 5 miliar," kata Kepala Ekonom Bank Cetral Asia (BCA) David Sumual kepada Katadata, Senin (17/9).

Menurutnya, sepanjang pemerintah tidak mengubah kebijakan subsidi BBM, karena khawatir akan mempengaruhi daya beli, ditambah dengan rupiah yang masih melemah, hal itu akan menjadi resiko bagi kondisi fiskal dan neraca dagang. Selain itu, ekspor juga menurutnya akan sulit didorong dalam waktu singkat karena masih terkendala kondisi global dan akses pasar.

Meski demikian ada tiga kebijakan yang menurutnya diharapkan bisa mengurangi defisit perdagangan, yaitu terkait kebijakan penundaan proyek infrastruktur. Karena dari kebijakan ini ada impor bahan baku atau barang modal yang bisa ditekan. Kebijakan kedua, terkait kebijakan bagi hasil produksi minyak dan gas bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor.

(Baca: Perdagangan Loyo, Neraca Dagang Agustus 2018 Defisit US$ 1,02 Miliar)

Ketiga, kebijakan pemerintah terkait kewajiban penggunaan pencampuran minyak sawit 20% terhadap bahan bakar solar atau mandatori B20 untuk seluruh sektor juga diharapkan bisa mengurangi pembelian solar impor.

"Mandatori B20 diharapkan efeknya bisa mulai terasa di Oktober mendatang," ujarnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Agustus 2018 defisit neraca perdagangan dalam negeri mencapai US$ 1,02 miliar. Kendati jumlahnya mengecil dibanding defisit Juli 2018 sebesar US$ 2,03 miliar, namun ini merupakan defisit ke enam kali sepanjang tahun berjalan di 2018.

Penyebab defisit neraca dagang Agustus salah satunya dikaitkan oleh defisit sektor migas sebesar US$ 1,66 miliar. Impor migas pada periode Agustus mencapai US$ 3,05 miliar, naik 14,50% dibandingkan Juli 2018 yang sebesar USD2,6 miliar, sedangkan ekspor tercatat melemah 3,27% menjadi US$1,38 juta dari US$ 1,43 juta.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar tidak membantah penurunan ekspor migas. Menurutnya, penyebab penurunan ekspor itu lantaran ada beberapa blok migas yang dikelola kontraktor asing diserahkan ke PT Pertamina (Persero). Alhasil, hasil produksi itu diserap untuk dalam negeri, tak lagi diekspor.

Penyebab lainnya adalah turunnya produksi minyak. “Penurunan produksi 30 ribu barel per hari,” kata Arcandra di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (17/9).

Sementara itu, menurut Arcandra, impor migas naik karena ada peningkatan kegiatan ekonomi. Peningkatan kegiatan ekonomi itu merangsang konsumsi, sehingga impor juga naik.

Defisit perdagangan juga menjadi perhatian pemerintah karena neraca perdagangan migas pada Agustus 2018 menyentuh level defisit terparah sejak awal tahun.

"Adanya kenaikan impor (bulan) kemarin dari migas terutama pada bulan sebelum diberlakukannya B20. Kami akan lihat apakah itu suatu tren ataukah anomali," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di Jakarta, Senin (17/9).