Pemerintah berjanji akan menerbitkan peraturan baru mengenai perdagangan secara dalam jaringan atau e-commerce paling lambat bulan Oktober mendatang. Ini sebuah kabar gembira karena penerbitannya sudah tertunda sejak setahun lalu. Padahal, payung hukum setingkat peraturan pemerintah (PP) tersebut sangat berguna untuk menghadang serbuan barang impor yang berujung pada terganggunya perekonomian nasional.
Setelah lama tak terdengar kabarnya, pemerintah kembali membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE) pada Kamis (2/8) dua pekan lalu. Rapat tersebut digelar di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, yang dihadiri oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian.
Usai rapat, Menteri Kominfo Rudiantara menyatakan, pemerintah tengah melakukan harmonisasi dan percepatan pembahasan peraturan pemerintah mengenai e-commerce. “Sudah beberapa kali kan tertunda (pembahasannya),” kata dia.
Kalau mengacu kepada terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) mengenai perdagangan secara online tersebut pada Oktober 2017, berarti keluarnya PP hingga saat ini sudah tertunda 10 bulan. “Sudah terlambat lama.”
Yang menarik dalam rancangan aturan tersebut, menurut Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi serta Usaha Kecil Menengah (UKM) Kementerian Koordinator Perekonomian Rudy Salahuddin, ketentuan produk yang dijual di e-commerce akan disesuaikan dengan yang berlaku pada perdagangan retail konvensional. "Aturan e-commerce hanya media, aturan yang sudah ada tidak perlu dibuat, itu ikut aturan offline," ujarnya.
Jadi, PP baru tersebut bakal fokus mengatur e-commerce sebagai media dalam perdagangan secara elektronik. Karenanya, kriteria mengenai barang yang diperjualbelikan melalui e-commerce sebenarnya tidak diatur di dalam PP ini, melainkan mengikuti ketentuan yang sudah ada.
Artinya, ketentuan terkait barang yang diperdagangkan di e-commerce akan mengikuti PP Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).
Sedangkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita --yang turut hadir dalam rapat tersebut—menekankan perdagangan secara online juga membantu pemasaran barang dalam negeri. Jika mengacu ketentuan perdagangan konvensional, ada kewajiban pemenuhan TKDN minimal 60% dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Momen finalisasi aturan terkait e-commerce --yang salah satu poinnya membatasi produk impor tersebut-- bersamaan dengan upaya pemerintah meningkatkan devisa di dalam negeri. Ada beberapa upaya yang dilakukan, mulai dari menggenjot ekspor komoditas yang selama ini menjadi produk andalan Indonesia, memacu sector pariwisata, hingga menekan impor, baik barang modal maupun konsumsi.
Sektor e-commerce selama ini memang ditengarai sebagai salah satu jalur masuk membanjirnya barang-barang impor ke Indonesia. Kementerian Perdagangan pernah menyebut, lapak online atau marketplace menjual 90% produk impor. Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) periode 2016-2018 Aulia Ersyah Marinto pun membenarkan, bahwa hanya 6-7% produk lokal di platform e-commerce per tahun 2017.
Mayoritas penyelenggara e-commerce mengakui, barang impor mendominasi penjualan di platform mereka. E-commerce asal Singapura, Shopee menyebut 70% barang dagangan di lapaknya merupakan produk impor.
Sedangkan Chief Executive Officer (CEO) Blibli Kusumo Martanto menyatakan, hanya 100 ribu produk lokal dari total 2,5 juta jenis barang yang dijajakannya. Artinya, 96% barang yang dijual di platform Blibli merupakan produk impor.
Adapun, menurut Chief Marketing Officer (CMO) Lazada Achmad Akatiri, sebagian besar dari 65 ribu penjual di Lazada memperdagangkan barang impor. "Penjual membeli dari pemasok yang barangnya bukan lokal," ujarnya.
Sementara itu, Tokopedia yang terlihat masih enggan buka-bukaan mengenai maraknya barang impor di platform e-commerce. Yang jelas, Tokopedia dan Lazada sama-sama menjual produk Taobao milik Alibaba Group.
Berbeda dengan Bukalapak, yang mengklaim separuh dari 4 juta pelapak di platform-nya menjual produk lokal. “Mereka ini memproduksi sendiri semua produknya baik kerajinan, pangan, fashion, hobi, dan lain-lain yang tergolong non-elektronik,” kata Legal and Compliance Manager Bukalapak Debora Rosaria.
Persoalannya, bukan perkara mudah menghadang serbuan barang impor. Apalagi, dari sisi konsumen, banyak orang yang meminati produk dari luar negeri karena harganya jauh lebih murah.
Ahmad Riyanto (23 tahun), misalnya, membeli jam tangan seharga Rp 200 ribu asal Singapura melalui Lazada. Meskipun pengiriman barangnya memakan waktu satu bulan. “Tapi kalau membandingkan harga dan kualitasnya, saya memilih ini (barang impor),” kata dia.
Lita Nurawaliya (17 tahun) juga membeli sepatu asal Korea Selatan (Korsel) melalui e-commerce. Selain harga yang murah, ia membeli produk itu karena terpikat dengan modelnya.
Pemerintah sebenarnya sempat mewacanakan kewajiban menjual 80% produk lokal bagi penyelenggara e-commerce. Tapi, rencana itu urung dijalankan karena masih meragukan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memenuhi permintaan pasar.
Padahal, di sisi lain, sektor e-commerce dianggap baru tumbuh sehingga bakal sulit berkembang jika banyak pembatasan. Selain itu, investasi yang masuk ke sektor ini cukup besar.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyatakan, aliran modal yang masuk ke sektor e-commerce berkisar US$ 2-3 miliar per tahun sejak 2014. Jumlah tersebut mencapai 15-20% dari total investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) saban tahun.
Berdasarkan kajian McKinsey Indonesia pada 2016, ekonomi digital diperkirakan memberi nilai tambah sebesar US$ 115 miliar atau setara 10% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2025.