Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menargetkan perolehan devisa sedikitnya US$ 20 miliar pada tahun depan. Apabila angka ini tercapai artinya industri pariwisata menjadi penghasil devisa terbanyak.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, industri pariwisata merupakan sektor termudah untuk menggenjot jumlah devisa. Dua tahun lalu, terkumpul devisa senilai US$ 13,5 miliar dari lapangan usaha ini berlanjut ke 2017 naik menjadi US$ 15 miliar.
(Baca juga: Terus Turun 6 Bulan Terakhir, Cadangan Devisa Juli US$ 118 Miliar)
Guna mengungkit perolehan devisa perlu dilakukan peningkatan pemasaran, pengembangan destinasi baru, dan penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM). Pertumbuhan industri pariwisata Indonesia diklaim tertinggi di dunia sehingga pemasaran diklaim lebih mudah diintensifkan.
“Pada 2016 dan 2017 pertumbuhan (pariwisata) Indonesia mencapai 22%. Tahun ini diharapkan tumbuh 20%, namun sampai Juni baru tumbuh 14%," tutur Arief ditemui di komplek DPR/MPR, Jakarta, Kamis (16/8).
Upaya memacu pertumbuhan devisa dari sektor pariwisata salah satunya ditempuh melalui pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN). Kemenpar mengaku, manfaat dari program value added tax (VAT) refund ini belum optimal.
Fasilitas pengembalian PPN sebesar 10% diterapkan sejak 2010. Nilai minimal per transaksi untuk mendapatkan VAT refund senilai Rp 5 juta. Sementara itu, pengembalian PPN di negara lain didapatkan dengan Rp 1 juta saja.
"Contoh di Singapura, US$ 100 sudah boleh. Industri mengusulkan supaya nanti kita bisa jadi surga belanja dan menambah devisa," kata Arief.
Saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) soal insentif tersebut sedang dalam pembahasan di Kementerian Keuangan. PP ini ditargetkan selesai pada Agustus 2018. Beleid ini kelak memperbolehkan penggunaan VAT refund dengan total transaksi Rp 5 juta atau bon belanja yang berbeda.