Neraca Perdagangan Juli Defisit US$ 2,03 Miliar, Terbesar Sejak 2013

Dok. KPPIP
Proyek strategis pemerintah Pelabuhan Bitung, merupakan Proyek Strategis Nasional di Provinsi Sulawesi Utara (KEK Bitung dan Pelabuhan Internasional Hub Bitung) senilai Rp 34 triliun dan juga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dengan nilai investasi diperkirakan sekitar Rp 35 triliun.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
15/8/2018, 13.32 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Juli 2018 defisit US$ 2,03 miliar. Defisit ini merupakan yang terdalam sejak Juli 2013 atau dalam 59 bulan terakhir sebesar US$ 2,30 miliar. Sektor minyak dan gas (migas)  menyumbang defisit terbesar Juli 2018 yakni sekitar US$ 1,18 miliar. Sementara defisit neraca nonmigas tercatat sebesar US$ 842,2 juta.

"Defisit ini bakal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Kepala BPS, Suhariyanto di Jakarta, Rabu (15/8).

(Baca : Juli 2018, Neraca Dagang Diprediksi Defisit Hingga US$ 1,3 Miliar)

Kepala BPS Suhariyanto meminta pemerintah melakukan perbaikan neraca perdagangan dalam 5 bulan terakhir 2018.  Hingga Juli 2018, Indonesia tercatat telah mengalami lima kali defisit neraca perdagangan, yakni pada Januari, Februari, April, Mei dan Juli. 

Sementara pada Juli 2018,  BPS mencatat total impor mencapai sebesar US$ 18,27 miliar, membengkak 62,17% dari US$ 11,27 miliar. Dari nilai tersebut,  impor nonmigas melonjak tajam 71,55% dari US$ 9,13 miliar menjadi US$ 15,66 miliar. Sedangkan impor migasnya justru hanya tumbuh  22,20%.

Menurut pengelompokkan barang, bahan baku penolong  menyumbang impor sebesar 74,8% atau senilai US$ 13,67 miliar dan barang modal mencapai 15,75% senilai US$ 2,88 miliar. Sedangkan, kontribusi impor konsumsi tercatat sebesar 9,41% atau senilai nilai US$ 1,72 miliar.

Namun demikian, secara nilai, impor konsumsi  melonjak hingga 70,50% dengan impor komoditas terbesar dicatat oleh  beras, apel, dan daging. Sementara  pada impor bahan bakunya yang juga naik 59,27%, di antaranya berasal dari peningkatan impor kapas, buntil kedelai, serta bahan kimia.

Suhariyanto mengungkapkan, impor barang modal juga meningkat 71,95% dengan komoditas mesin dan kendaraan komersial. “Tapi kami memiliki harapan, nilai investasi bisa naik dengan masuknya barang modal,” ujarnya.

Adapun menurut negara asal, impor Indonesia yang terbesar  berasal dari Tiongkok US$ 2,05 miliar, Jepang US$ 786,5 juta, dan Amerika Serikat (AS) US$ 385,8 juta. Meski nilainya kecil, namun BPS mencatat ada penurunan impor dari negara Pantai Gading, Ekuador, dan Maroko.

Ekspor Lesu

Di sisi lain, membengkaknya impor sepanjang Juli 2018 masih belum bisa diimbangi oleh pertumbuhan kinerja ekspor yang lebih tinggi. Tercatat, total ekspor sepanjang Juli 2018 hanya meningkat sekitar 25,19% menjadi  US$ 16,24 miliar, dibanding Juni 2018 sebesar US$ 12,97. Ekspor nonmigasnya mengalami kenaikan 31,18% menjadi US$ 14,81 miliar dari US$ 11,29 miliar . Sedangkan ekspor migas  turun 15,17% dari US$ 3,59 miliar menjadi US$ 3,05 miliar.

Dia juga mengungkapkan ekspor nonmigas berkontribusi 91% dari keseluruhan total ekspor. “Tren pasca-Lebaran memang meningkat, mudah-mudahan ekspor 5 bulan terakhir juga positif,” kata Suhariyanto.

(Baca : 3 Tahun Surplus, Neraca Dagang Semester I 2018 Defisit US$ 1 Miliar)

Berdasarkan sektor, ekspor komoditas sektor pertanian melesat 49,86% melampaui pertumbuhan ekspor industri pengolahan sebesar 37,84%. Adapun  ekspor komoditas pertambangan meningkat 7,27%. Komoditas yang kenaikannya besar pada bulan lalu adalah bahan bakar mineral, lemak dan minyak nabati, serta mesin atau peralatan listrik.

Peningkatan ekspor pada Juli terjadi ke negara AS US$ 429,8 miliar, Jepang US$ 362,5 miliar, dan India US$ 362,5 miliar. Sedangkan penurunan ekspor terjadi kepada negara Spanyol, Kamboja, dan Yunani.

Melihat tren perdagangan saat ini, Suhariyanto tetap menyarankan pemerintah untuk meningkatkan akses pasar ke pasar nontradisional.“Perlunya diversifikasi produk dan akses terutama pasar nontradisional,” ujar Suhariyanto lagi.