Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) World Trade Organization (WTO) meminta pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) terkait sengketa produk hortikultura, hewan, dan produk hewan yang berujung pada tuntutan sanksi dagang Amerika Serikat (AS) senilai US$ 350 juta atau setara Rp 5,06 triliun. Revisi UU harus diselesaikan sebelum tenggat waktu kedua yang ditetapkan WTO pada 22 Juni 2019.
“Ada 3 UU yang diubah yaitu UU Pangan, UU Hortikultura, dan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan sebelum 22 Juni 2019. Kami lakukan perubahan, karena putusan WTO memang mengharuskan itu,” kata Oke di Jakarta, Kamis (9/8).
Revisi UU merupakan bagian dari langkah penyesuaian yang direkomendasi WTO, dengan batas waktu 20 bulan terhitung sejak dimenangkannya gugatan AS dan Selandia Baru dalam laporan sengketa impor produk daging dan hortikultura di tingkat banding November 2017 lalu.
Selain itu, rekomendasi WTO juga meminta pemerintah mengubah 4 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) dengan tenggat pertama selama 8 delapan bulan pascaputusan banding yang jatuh pada 22 Juli 2018.
Oke menyatakan, Indonesia telah memenuhi kewajiban untuk membenahi 18 regulasi impor yang dianggap menghambat impor AS sebelum masa tenggat tahap pertama dan kedua sesuai rekomendasi WTO. Namun, pihak AS tetap menganggap Indonesia gagal memenuhi kesepakatan.
(Baca : Indonesia Minta WTO Bentuk Tim Penilai Terkait Denda AS Rp 5 Triliun)
"Kami harus meyakinkan AS, bahwa ini sudah diubah. Untuk yang mereka (AS) complain ada 18 measures, ini juga sudah dijawab. Jadi kita harus sampaikan secara matriks," ujar Oke.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menjelaskan WTO harus obyektif menilai penyesuaian yang direkomendasikan untuk Indonesia.
Menurutnya, AS berupaya mengamankan hak retaliasi jika Indonesia gagal memenuhi kewajiban rekomendasi DSB WTO. Permintaan otorisasi masih akan dibahas pada pertemuan 15 Agustus mendatang. Jika dikabulkan, WTO juga akan membentuk panel untuk menentukan besaran sanksi yang sesuai.
“Permintaan pembentukan panel kepatuhan akan kita tempuh karena pemerintah telah melakukan penyesuaian sebelum 22 Juli 2018, sehingga pengusaha produk hortikultura, hewan dan produk hewan dari AS dan negara lainnya dapat mengekspor produk-produknya ke Indonesia,” kata Iman.
(Baca : Terancam Sanksi Rp 5,06 Triliun, RI Tunggu Putusan WTO 15 Agustus 2018)
Beberapa poin perubahan kebijakan perdagangan yang telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya berupa tidak lagi mengatur pembatasan waktu pengajuan permohonan ijin impor yang berkaitan dengan persyaratan masa panen. Keputusan itu juga sudah disampaikan secara detail kepada WTO.
Sementara secara rinci, dua Permentan baru yang diubah untuk menggantikan aturan sebelumnya yakni, Permentan Nomor 23 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 34 Tahun 2016 tentang pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kedua, Permentan Nomor 24 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Dua Permendag juga berkaitan dengan revisi Permentan dan mengubah regulasi sebelumnya, yaitu pertama, Permendag Nomor 64 Tahun 2018 tentang perubahan keempat atas Permendag Nomor 30 Tahun 2017 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Kedua, Permendag Nomor 65 Tahun 2018 tentang perubahan ketiga atas Permendag 59 Tahun 2016 tentang ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan.
(Baca : Buntut Sengketa Hortikultura, AS Tuntut Ganti Rugi Rp 5 Triliun)