Pemerintah Indonesia meminta  World Trade Organization (WTO) membentuk panel kepatuhan (Compliance Panel)  terkait penyesuaian regulasi  Dispute Settlement (DS) 478. Amerika Serikat (AS) menganggap Indonesia tidak melaksanakan rekomendasi dari Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) WTO pascaputusan pada 22 Juli 2017 dan meminta ganti rugi sebesar US$ 350 juta atau Rp 5,06 triliun.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menjelaskan WTO harus obyektif menilai penyesuaian yang direkomendasikan untuk Indonesia.

“Permintaan pembentukan panel kepatuhan akan kita tempuh karena pemerintah telah melakukan penyesuaian sebelum 22 Juli 2018, sehingga pengusaha produk hortikultura, hewan dan produk hewan dari AS dan negara lainnya dapat mengekspor produk-produknya ke Indonesia,” kata Iman dalam keterangan resmi, Rabu (8/8).

(Baca : Terancam Sanksi Rp 5,06 Triliun, RI Tunggu Putusan WTO 15 Agustus 2018)

Dia menjelaskan AS berupaya mengamankan hak retaliasi jika Indonesia gagal memenuhi kewajiban rekomendasi DSB WTO. Permintaan otorisasi masih akan dibahas pada pertemuan 15 Agustus mendatang. Apabila dikabulkan, WTO juga akan membentuk panel untuk menentukan besaran sanksi yang tepat.

"Masih perlu dibentuk panel untuk menentukan besaran nilai retaliasi. Sebab, jelas angka US$ 350 juta yang diajukan AS merupakan angka sepihak yang masih bisa diperdebatkan," ujar Iman. 

Iman juga mengungapkan nilai US$ 350 juta masih dapat berubah sesuai perkembangan perhitungan nanti. Namun  kalaupun tak dipenuhi, Indonesia tak akan melayangkan tuntutan balik.

Dalam proses litigasi di WTO,  langkah yang ditempuh AS agar tidak kehilangan haknya sebetulnya telah sesuai prosedur.  Namun, langkah tersebut bisa dibilang jarang ditempuh oleh negara yang mengajukan keberatan melalui badan penyelesaian sengketa WTO. Karena biasanya permasalahan dapat diselesaikan melalui konsultasi bilateral. Contohnya New Zealand yang mengajukan kasus yang sama terkait sengketa DS478. 

(Baca : Buntut Sengketa Hortikultura, AS Tuntut Ganti Rugi Rp 5 Triliun)

“Tampaknya ada masalah perbedaan waktu antara kesimpulan yang diambil oleh Perwakilan AS di WTO dan kunjungan Menteri Perdagangan Indonesia ke Washington pada akhir Juli  lalu, yang juga membahas penyelesaian sengketa di WTO ini,” ujar Iman.

Padahal, pemerintah menyetakan telah mengubah sudah pengubah  aturan yang dipermasalahkan AS sesuai perjanjian 8 bulan pascaputusan WTO. Namun, pihak AS tetap menganggap Indonesia gagal memenuhi kesepakatan.

Beberapa poin perubahan kebijakan perdagangan yang  telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya berupa tidak lagi  mengatur pembatasan waktu pengajuan permohonan ijin impor yang berkaitan dengan persyaratan masa panen. Keputusan itu juga sudah disampaikan secara detail kepada WTO.

Sementara secara rinci,  dua Permentan baru yang diubah untuk menggantikan aturan sebelumnya yakni, Permentan Nomor 23 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 34 Tahun 2016 tentang pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kedua, Permentan Nomor 24 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).

(Baca : Ikuti Rekomendasi WTO, Pemerintah Revisi Aturan Impor Hortikultura)

Sementara itu, dua Permendag juga berkaitan dengan revisi Permentan dan mengubah regulasi sebelumnya, yaitu pertama, Permendag Nomor 64 Tahun 2018 tentang perubahan keempat atas Permendag Nomor 30 Tahun 2017 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Kedua, Permendag Nomor 65 Tahun 2018 tentang perubahan ketiga atas Permendag 59 Tahun 2016 tentang ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan.

Reporter: Michael Reily