Pelaku usaha merasa terkendala masalah perpajakan, khususnya tarif bea masuk di sejumlah negara. Keluhan tersebut semestinya tidak diabaikan mengingat pemerintah sedang mengejar perbaikan kinerja ekspor untuk mendongkrak volume penjualan barang ke luar negeri sehingga memperbesar pasokan valuta asing di tengah tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Salah satu keluhan dikemukakan PT Great Giant Pineapple (GGP) yang menilai bea masuk buah pisang terlalu tinggi. Government Relations and External Affair Director GGP Welly Soegiono menyebutkan, bea masuk ke Eropa mencapai 15 % sedangkan produk Filipina terbebas.
“Sementara itu, ke Jepang, pisang kami dikenakan bea masuk 3 %. Ini lebih mahal daripada Filipina. Lalu, ke Korea dikenakan 30 %,” kata Welly di sela gelaran Exportir Gathering, Jakarta, Selasa (7/8). (Baca: Hambatan Tarif jadi Fokus RI pada Perundingan Perjanjian Dagang UE).
Pengenaan bea masuk dinilai sebagai bentuk inefisiensi. Pasalnya, dana yang biasanya digunakan untuk membayar pajak bisa dialokasikan membeli pupuk untuk petani. Kini, terdapat sekitar 60 negara tujuan ekspor pisang GGP di antaranya AS, kawasan Eropa, dan Australia.
Selain pisang, GGP juga menemukan kendala ekspor nanas ke Tiongkok. Welly menuturkan, Negeri Tembok Raksasa itu selayaknya menjadi pasar potensial bagi ekspor nanas Indonesia lantaran mereka sedang kekurangan pasokan buah ini.
Namun, imbuh Welly, Indonesia tidak dapat menjual nanas ke Cina karena belum ada kesepakatan dagang yang khusus memfasilitasi komoditas buah ini di antara dua negara. Padahal, Indonesia diperkirakan bisa meraup devisa US$ 50 juta per tahun atau sekitar Rp 720 miliar melalui penjualan nanas ke Tiongkok.
Kondisi tersebut, justru berbanding terbalik dengan Filipina, Thailand, dan Malaysia yang dapat mengeskpor nanas ke Tiongkok tanpa kendala terkait pajak. Selama ini, penjualan nanas ke Tiongkok dilakukan GGP secara bussiness to bussiness sehingga dikenakan bea masuk.
Pengusaha menginginkan pemerintah segera melakukan perundingan bilateral terkait isu tersebut. "Kita seharusnya melakukan pendekatan [dengan Tiongkok]. Kami ini memberikan solusi kepada Tiongkok atas produk nanas yang lebih bagus dan murah," ucap Welly.
Ditemui dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengutarakan, pemerintah akan menampung keluhan pengusaha terkait bea masuk ekspor buah tersebut. Menkeu menegaskan, pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan kebijakan konkrit untuk membantu menggairahkan kinerja ekspor RI.
"Berbagai kemudahan dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam pajak, bea cukai, belanja, dan insentif untuk memudahkan ekspor," kata Sri Mulyani. (Baca juga: Tawaran Indonesia dalam Negosiasi Insentif Bea Masuk AS Tak Imbang).
Pemerintah, imbuhnya, sudah meniadakan pungutan pajak kepada industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Kebijakan ini diharapkan dapat menimbulkan efek domino berupa peningkatan investasi, ekspor, dan meluasnya kesempatan kerja. Alhasil, perekonomian tumbuh lebih baik.
Pemerintah mengklaim, bentuk riil dukungan kepada dunia usaha salah satunya melalui kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). Selain itu, dihadirkan pula Pusat Logistik Berikat untuk mempermudah suplai bahan baku. Melalui sinergi dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor lndonesia (LPEI), Kemenkeu juga memberikan pembiayaan ekspor dan jasa konsultansi berkualitas.
"[Insentif juga menyentuh] termasuk usaha kecil dan menengah untuk menghasilkan produk berorientasi ekspor yang unggul dan berdaya saing," ujar Sri Mulyani. Contohnya ialah Fasilitas Pembiayaan Ekspor berupa Kredit Modal Kerja Ekspor dan Kredit Investasi Ekspor.
(Baca pula: India Minta Bea Masuk Impor Gula ke Indonesia Diturunkan).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea Cukai terdapat sejumlah tantangan yang membayangi kinerja ekspor, salah satunya ketentuan pembatasan untuk eksportir terutama bagi para penerima KITE. Mereka kesulitan dalam memenuhi izin impor, belum lagi adanya arus barang yang tidak lancar sehingga biaya ekspor mahal.
Selain itu, persyaratan atau sertifikasi ekspor menjadi kendala, seperti Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu. Masalah pembiayaan juga kerap ditemui karena adanya keterbatasan modal tetapi pebisnis sulit mendapatkan pembiayaan lantaran tidak bankable.
Nah, dari sisi branding, sejumlah eksportir juga tidak dapat menjual barangnya keluar negeri menggunakan merk sendiri. Sementara dari sisi standar produk, barang yang mereka hasilkan tak jarang tidak lolos proses pengontrolan kualitas.