Indonesia mengincar sebagian pangsa pasar komoditas tekstil dan produk tekstil milik Tiongkok di pasar Amerika Serikat (AS) seiring memanasnya situasi perang dagang antar kedua negara tersebut. Untuk mencapai target tersebut, salah satu upayanya melalui negosiasi peningkatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika yang turut dihadiri Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pada akhir Juli lalu.
Pada akhir bulan lalu, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan American Apprael & Footwear Association (AAFA) telah menggelar pertemuan yang difasilitasi pemerimtah Indonesia.
Salah satu pembahasan yang disebut dalam pertemuan itu yakni mengenai peningkatan perdaganga antara kedua negara, salah satunya upaya meningkatkan ekspor komoditas tekstil Indonesia untuk menggantikan produk Tiongkok.
Enggar mengungkapkan peningkatan ekspor tekstil bakal dibarengi dengan impor kapas dari AS. “Kita minta pasar ekspor kita diprioritaskan karena harganya pasti lebih murah dibandingkan Tiongkok,” kata dia di Jakarta, Senin (6/8).
Menurut Enggar, pangsa pasar Indonesia terhadap keseluruhan impor tekstil dan garmen di AS hanya sekitar 4,5%. Sementara itu, Tiongkok yang berada dalam situasi perang dagang dengan AS memiliki pangsa pasar hingga 26%.
(Baca : Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan)
Dia menjelaskan, hubungan perdagangan AS dan Indonesia adalah kemitraan strategis yang saling menguntungkan. "Kedatangan kami ke AS untuk menyerap produk yang menurut mereka sulit jual, tetapi kami minta tolong juga mereka menyerap produk Indonesia,” ujar Enggar.
Menurutnya, sejak perang dagang bergulir ada kesulitan memasarkan atau mendapatkan barang karena Tiongkok mengenakan tarif yang tinggi.
Selain tekstil, Indonesia juga ingin memanfaatkan perang dagang AS dan Tiongkok untuk lebih meningkatkan perdagangan produk besi baja dan aluminium. Sebab, pangsa pasar baja Indonesia di AS sangat kecil dengan persentase hanya 0,23%.
(Baca : BI Sebut Perang Dagang Ganggu Laju Ekonomi dan Picu Kenaikan Bunga AS)
Karenanya, dia pun meminta meminta Indonesia dikecualikan dari pemberlakuan kenaikan tarif impor produk besi baja dan aluminium. Alasannya, besi baja dan aluminium Indonesia bukan pesaing produk lokal di AS. “Besi baja dan aluminium produksi Indonesia berbeda dengan yang diproduksi di AS dan pangsa pasarnya berbeda,” kata Enggar.
Enggar pun menyebut dalam kunjungannya ke AS, pihaknya juga telah melakukan pertemuan dengan Chamber of Commerce AS, Boeing, US-INDO, Departemen Perdagangan AS, Departemen Pertanian AS, serta parlemen AS. Pihak Indonesia juga bertemu dengan Duta Besar United State of Trade Representative (USTR).
(Baca juga: Soal Ancaman Tarif, Indonesia Siap Lobi AS dan Tempuh Jalur Negosiasi)
Perang dagang AS dan Tiongkok makin memanas. Terakhir, Tiongkok membuat ancaman kepada AS terkait pemberlakukan tarif baru untuk 5.200 produk AS senilai US$ 60 miliar. Hal itu merupakan langkah balasan Tiongkok setelah AS terlebih dulu mengancam mempertimbangkan pengenaan tarif yang kebih tinggi untuk barang-barang Tiongkok sebesar US$ 200 miliar. Sekertaris Gedung Putih sebelumnya mengatakan tarif baru itu sebagai respons terhadap kebijakan perdagangan China yang disebut "tidak adil".
Perang tarif bea impor akhirnya kembali menghalangi tercapainya kesepakatan dari pembicaraan kedua belah pihak yang digelar musim semi ini.