Serapan Gula Petani Minim, Pemerintah Hitung Ulang Neraca Gula

Katadata/Arief Kamaludin
Pedagang tengah mengemasi gula pasir kedalam kantong plastik di pasar di kawasan Jakarta.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
31/7/2018, 20.27 WIB

Pemerintah berencana menghitung ulang neraca gula nasional. Hal ini disebabkan oleh minimnya serapaan gula oleh petani, serta impor gula konsumsi yang dilakukan karena produksi dalam negeri yang rendah sehingga tak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti mengakui perhitungan neraca gula nasional saat ini belum diperbaharui. “Data neraca gula masih memakai tahun 2017,” kata Tjahya di Jakarta, Selasa (31/7).

Karenanya, untuk memaksimalkan penyerapan gula petani, pemerintah menugaskan Perum Bulog membeli gula petani sebanyak 600 ribu ton dengan harga Rp 9.700 per kilogram. Alasannya, stok gula yang tidak laku di pasaran. Sehingga, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk  memaksimalkan penyerapan produksi dalam negeri.  

Direktur Utama Budi Waseso menuturkan data kebutuhan gula belum terpetakan dengan baik secara riil. “Sedang dihitung konsumsi gula per kapita supaya tidak terulang lagi,” ujarnya.

Bulog pun berkomitmen melakukan penyerapan gula milik petani hingga April 2019. Sementara itu, Harga Eceran Tertinggi (HET) gula telah ditetapkan sebesar Rp 12.500 per kilogram.

(Baca : Bulog Siap Serap 300 Ribu Ton Gula Petani Hingga Akhir Tahun 2018)

Perkiraan produksi gula petani per Mei 2018 sekitar 2,2 juta ton. Kemudian, jumlah persediaan gula petani yang ada di gudang Bulog dan gudang BUMN jumlahnya sekitar 800 ribu ton.

Sementara itu, konsumsi gula nasional sepanjang tahun ini diperkirakan mencapai 2,9 juta ton. Adapun pada Januari bingga Mei 2019 total kebutuhan gula diperkirakan mencapai 1,1 juta ton.

Deputi Bidang Usaha dan Industri Agro Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro menjelaskan, produksi gula pada 2018 bisa mencapai 1,4 juta ton, yang mana 60% merupakan milik pemerintah dan sisanya 40% punya petani.

Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan gula konsumsi, pihaknya menyebut masih terbuka kemungkinan untuk  dipenuhi dari impor. “Sebab, selisihnya masih jauh,” kata Wahyu.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Nur Khabsyin mencatat harga gula petani di pasaran saat ini hanya  sekitar Rp 9.100 hingga Rp 9.300 per kilogram. Impor gula konsumsi  saat ini dituding telah menyebabkan harga jual gula petani di tingkat produsen turun.

(Baca : India Minta Bea Masuk Impor Gula ke Indonesia Diturunkan)

Khabsyin mengungkapkan petani menghadapi kesulitan dalam berproduksi. Salah satunya karena biaya sewa lahan yang mahal dan banyak dari petani tak mampu lagi membayar pengolahan tebu pasca panen karena gula yang mereka hasilkan tidak lagi laku dipasaran. Akibatnya, sebanyak 600 ribu ton gula petani harus menumpuk di gudang.

“Kami pesimis Bulog serius beli gula petani karena tahun lalu mereka ditugasi untuk melakukan pembelian, tetapi realisasinya tidak ada,” ujar Khabsyin.

Menaggapi soal kemelut produksi gula lokal,  Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengungkapkan saat ini terdapat disparitas harga yang  cukup tajam antara gula rafinasi dan gula kristal putih. Perbedaan harga terjadi karena adanya pembatasan atau restriksi yang dikenakan pada kebijakan impor gula kristal putih.

Peneliti CIPS Novani Karina Saputri mengatakan, harga gula rafinasi per kilogram berkisar antara Rp 8.000 sampai Rp 8.800. Namun, gula kristal putih untuk konsumsi dijual di kisaran lebih dari Rp 12.000 per kilogramnya. Perbedaan harga ini membuka celah adanya rembesan gula rafinasi ke pasar gula kristal putih.

Dia menuturkan, pembatasan yang ditetapkan pemerintah pada kebijakan impor gula kristal putih relatif lebih ketat dibandingkan gula rafinasi. “Gula kristal putih hanya bisa diimpor oleh BUMN dengan volume impor yang ditentukan dan dibatasi serta waktu impor yang sangat tergantung pada rapat koordinasi antar kementerian,” ujar Nobami.

(Baca juga: Pemerintah Buka Impor 1,8 Juta Ton Gula Mentah)

Selain itu, tidak ada mekanisme yang jelas dalam penentuan BUMN yang diberikan wewenang untuk mengimpor dan penentuan volume impor yang didasarkan data yang berbeda dari berbagai institusi juga membuat jumlah kebutuhan impor menjadi tidak akurat.

Tidak transparannya hal ini diduga terjadi karena terbatasnya jumlah entitas impor dan produsen sehingga berpeluang memunculkan praktik kartel, atau penetapan kuota impor yang sering tidak sesuai dengan jumlah permintaan yang sebenarnya.