Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada semester pertama 2018 defisit sebesar US$ 1,02 miliar. Pemerintah pun harus waspada dan mengantisipasi pelemahan ekonomi global ke depan sebagai dampak dari aksi perang dagang yang dilancarkan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan pemerintah berupaya untuk menjaga trend positif neraca perdagangan sebagaimana pencapaian pada Juni yang tercatat surplus US$ 1,74 miliar.
Namun, Enggar mengakui untuk mempertahankan capaian tersebut tak mudah. Karena pada bulan-bulan mendatang kondisi perdagangan dunia semakin menantang seiring dengan terus bergulirnya perang dagang yang akan memicu pelemahan ekonomi dunia.
“Tidak mudah karena kondisi perdagangan global saat ini, dampaknya berpotensi terjadi pelemahan ekonomi,” kata Enggar di Jakarta, Senin (16/7).
(Baca : Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan)
Dia juga mengakui sebenarnya ada penurunan ekspor dan impor pada Juni 2018 karena libur Lebaran yang panjang. Namun, pengurangan impor lebih besar daripada ekspor berhasil menyelamatkan neraca dagang Indonesia hingga akhirnya meraih surplus.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengungkapkan pemerintah akan menjaga neraca dagang semester dua. Caranya dengan tetap mengendalikan ekspor dan impor supaya tidak defisit.
Sementara itu, Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih juga menuturkan efek perang dagang AS dan Tiongkok dapat memicu pelemahan ekonomi global. Dampak utamanya, kedua negara dapat mengalihkan komoditas ekspornya ke Indonesia.
Lana menyebutkan, salah satu cara untuk membendung banjir komoditas impor di Indonesia bisa dengan penerapaan non-tariff barrier melalui pelabelan Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Misalnya, kewajiban label dalam bahasa Indonesia supaya masyarakat mengerti penggunaannya,” ujarnya.
Sedangkan untuk mengantisipasi penurunan ekspor, dia menyarankan agar pemerintah terus berupaya mencari pasar nontradisional, comtohnya pasar Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah.
(Baca : BI Sebut Perang Dagang Ganggu Laju Ekonomi dan Picu Kenaikan Bunga AS)
Sementara itu, kalangan usaha berpendapat untuk mengantasi membajirnya komoditas impor, pemrintah perlu menerapkan langkah pembatasan impor bahan baku dan barang modal disertai dengan penguatan industri dalam negeri.
"Kita perlu investasi dari hulu ke hilir dalam membangun industri dalam negeri,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani.
Meski demikian untuk memperkuat struktur industri dalam negeri dari hulu sampai hilir masih menjadi tantangan dan pekerjaan rumah pemerintah saat ini.
Shinta mengungkapkan, defisit neraca perdagangan pada semester pertama 2018 menggambarkan pertumbuhan industri manufaktur karena struktur impornya lebih banyak bahan baku atau penolong yang tinggi.
Ekspor nonmigas hasil industri yang tinggi, tercermin dari 80% hasil ekspor yang berasal dari hasil industri pengolahan dan pertambangan.
Kapasitas industri manufaktur dalam negeri pun tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Catatannya, pada April-Juni 2017 pertumbuhan industri manufaktur berada dalam kisaran 49,5% sampai 51,2%, lebih rendah dibandingkan periode yang sama 2018 pada level 50,3% hingga 51,7%.
“Dampak pertumbuhan industri yang baik, ekspor manufaktur kita bisa ikut tumbuh sampai 9,6% bulan Juni,” ujar Shinta.