Neraca perdagangan Juni 2018 diperkirakan surplus US$ 400 juta-US$ 600 juta. Surplus tersebut diperkirakan terjadi karena libur panjang Lebaran, sehingga tak banyak aktivitas produksi dan perdagangan dalam negeri.
"Surplus perdagangan lebih didorong menurunya impor karena faktor libur panjang lebaran. Namun surplus ini tergolong semu karena tidak berarti terjadi kenaikan ekspor non migas yang signifikan dibanding bulan sebelumnya," kata Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Katadata, Senin (16/7).
Menurutnya, minimnya aktivitas impor sepanjang Juni 2018 juga disebabkan oleh langkah pengusaha yang sudah lebih dulu menumpuk impor bahan baku,barang konsumsi dan barang modal untuk antisipasi libur lebaran pada bulan sebelumnya.
Namun yang menjadi catatannya adalah terkait defisit migas pada Juni 2018 yang diperkirakan akan membengkak akibat fluktuasi harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah. Sementara pada Juli 2018, defisit beraca perdagangan berpotensi kembali meningkat seiring dengan normalnya aktivitas bisnis.
(Baca : Lebih Optimistis, BI Ramal Neraca Dagang Juni Surplus US$ 1 Miliar)
Sementara itu, Bank Indonesia melihat potensi perolehan surplus neraca dagcang Indonesia pada Juni 2018 lebih optimistis. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo meramal perdagangan Indonesia surplus hingga US$ 1 miliar pada Juni 2018.
Sebelumnya, Perry menghitung nilai transkasi dagang Indonesia hanya berlebih US$ 900 juta. “Kami perkirakan itu berdasarkan data-data minggu satu dan minggu dua,” kata Perry di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/7).
Menjelang Lebaran, impor alat-alat strategis untuk kebutuhan infrastruktur dan bahan makanan memang meningkat sebagai faktor musiman. Dengan mulai meredanya impor, neraca perdagangan pun akan kembali surplus. Selain impor mereda, surplus neraca dagang didukung oleh membaiknya kinerja ekspor.
Walau neraca dagang surplus pada Juni kemarin, Perry menyatakan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada triwulan kedua lebih tinggi dari periode sebelumnya. Pemicunya lebih karena faktor musiman. Kemudian, ia memperkirakan surplus tersebut akan turun pada triwulan tiga.
Dengan demikian, secara keseluruhan, defisit pada 2018 diperkirakan tidak lebih dari 2,5 % dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih tinggi dari lahun lalu, defisit transaksi berjalan sebesar 1,7 % terhadap PDB.
(Baca juga : Terkerek Impor BBM, Neraca Dagang Mei 2018 Defisit US$ 1,52 Miliar)
Siang ini Badan Pusat Statistik (BPS), akan mengumumkan data perkembangan ekspor impor Juni 2018 yang juga disertai data perkembangan upah pekerja/buruh Juni 2018, profil kemiskinan di Indonesia Maret 2018, dan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia Maret 2018.
Pada Mei 2018 BPS mencatat, neraca perdagangan defisit US$ 1,52 miliar atau sekitar Rp 21,4 triliun. Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan pada Januari – Mei 2018 mencapai US$ 2,8 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan bahwa pada Mei 2018, pada sektor minyak dan gas (migas) saja terjadi defisit sebesar US$ 1,24 miliar, yang mana kenaikan nilai impor migas sebesar 20,95%, sementara volumenya naik 12,79%. “Ini karena harga minyak naik," ujarnya.
Peningkatan volume impor migas disebabkan oleh kenaikan volume impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah 2,84 persen (46,2 ribu ton), hasil minyak 22,44 persen (US$448,8 juta), dan gas 5,99 persen (27,6 ribu ton).
(Baca juga: Jelang Puasa, Neraca Dagang April 2018 Defisit US$ 1,63 miliar)
Sementara neraca perdagangan nonmigas defisit US$ 279,9 juta. Defisit ini menurun dibanding bulan sebelumnya yang sebesar US$ 517,6 juta. Perbaikan neraca perdagangan non migas ini didukung oleh kenaikan ekspor beberapa produk, seperti timah yang naik 274% dibanding bulan sebelumnya (month to month/mtm); besi baja 45,67%; barang rajutan 38,09%; mesin dan peralatan listrik; serta bijih, kerak, dan abu logam.