Pemerintah tengah menyiapkan dokumen berisi poin pembahasan berkaitan dengan upaya lobi mempertahankan fasilitas insentif bea masuk impor (Generalized System of Preferences /GSP) produk Indonesia oleh Amerika Serikat (AS). Rencananya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bersama tim negisiator akan bertolak ke markas United States Trade Representative (USTR) di Washington DC, AS pada akhir bulan Juli ini.
“Kami sedang menyiapkan bahan untuk bertemu dengan pihak AS, paling lama akhir bulan Juli,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta, Rabu (11/7).
Meski demikian, Darmin enggan merinci apa saja isi dokumen yang akan dibawa dalam pembicaraan ke AS.
Dia menjelaskan, fasilitas GSP membuat tarif ekspor produk Indonesia ke AS menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, pemerintah berupaya meyakinkan AS agar tarif impor tak lagi dikenakan.
(Baca : Indonesia Berupaya Pertahankan Insentif Tarif Bea Masuk Impor AS)
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita juga mengatakan terus mengintensifkan pembicaraan dengan USTR, bersama dengan Duta Besar Indonesia di AS. Selain dengan Indonesia, AS juga melakukan review terhadap India dan Kazakhstan.
Enggar mengatakan ada 3.547 pos tarif yang terancam terdampak dalam pencabutan GSP. “Kalau dicabut, dampaknya negatif terhadap ekspor Indonesia,” ujar Enggar.
Ancaman pencabutan GSP pun terjadi karena Indonesia dinilai menghambat ekspor AS untuk beberapa komoditas. Salah satunya adalah produk hortikultura seperti apel. Namun, Indonesia telah melakukan penarikan non-tariff barier melalui sistem kuota sesuai permintaan World Trade Organization (WTO).
(Baca : Ancaman Pencabutan Potongan Bea Masuk Impor AS Tak Berdampak Besar)
Enggar juga menuturkan AS mulai merasa terancam, salah satunya untuk komoditas kedelai. Penyebabnya, rencana pengenaan tarif oleh Indonesia dinilai menghambat ekspor AS. Dia juga menyebut sempat terjadi penolakan pengusaha tahu dan tempe karena dikhawatirkan kebijakan kuota kedelai dapat meningkatkan harga jual sehingga wacana itu akhirnya diurungkan.
“Kami sulit untuk menerapkan karena kedelai tidak tergantikan,” katanya.
Status GSP Indonesia pun dipertanyakan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki neraca perdagangan surplus dengan AS. Enggar mengungkapkan, surplus tahun 2017 sebesar US$ 14 miliar.
(Baca : Jokowi Rapatkan Kabinetnya Antisipasi Ancaman Perang Dagang Trump)
Berdasarkan dokumen USTR-2018-0007, ulasan USTR terhadap Indonesia difokuskan pada dua hal. Pertama, AS ingin memastikan Indonesia menyediakan akses pasar yang adil dan bisa dipertanggungjawabkan. Kedua, AS ingin Indonesia mengurangi praktik perusakan investasi perdagangan dan eliminasi hambatan perdagangan jasa.
“Indonesia telah mengimplementasikan hambatan yang luas sehingga memicu efek yang negatif untuk perdagangan AS,” bunyi dokumen USTR. Selain kedua hambatan, AS juga akan mempertanyakan masalah terkait hak intelektual.
Indonesia telah diberikan batas waktu hingga 17 Juli 2018 untuk memberikan presentasi dalam pembelaan hak kelayakan GSP. Pada 19 Juni 2018 lalu juga telah diadakan ulasan dan rapat dengar pendapat dalam praktik GSP India, Indonesia, dan Kazakhstan.