Hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok kembali memanas pada akhir pekan lalu setelah negeri tirai bambu itu memberi tarif tarif balasan untuk produk AS senilai US$ 34 miliar. Pemerintah pun diminta waspada karena efek perang dagang dikhawatirkan bisa melebar ke sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kondisi saat ini sudah cukup mengkhawatirkan karena perang dagang akan memukul kinerja ekspor komoditas unggulan.
"Dampak proteksi dagang beberapa negara khususnya AS, akan memukul kinerja ekspor komoditas unggulan seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet," kata dia kepada Katadata, Senin (7/9).
Menurutnya sebelum ada perang dagang, berdasarkan evaluasi produk asal Indonesia, ekspor CPO sudah minus 15,6% secara tahunan (year on year/yoy). Sementara itu, karet anjlok 21,4% pada periode Jan-Mei 2018 dibanding tahun lalu.
Padahal, kedua komoditas primer tersebut berkontribusi sebesar 16% dari total ekspor non migas.
(Baca : BI Sebut Perang Dagang Ganggu Laju Ekonomi dan Picu Kenaikan Bunga AS)
Selain itu, ia juga memperkirakan kinerja ekspor berisiko turun, defisit perdagangan juga kemungkinan berlanjut hingga semester kedua karena ekspor yang melambat, sementara impor naik. "Permintaan valas semakin tinggi dan ujung-ujungnya rupiah menjadi rentan terdepresiasi," ujar Bhima.
Terlebih dengan posisi Indonesia yang berada di rantai pasok paling bawah sebagai pemasok dan pengimpor bahan baku industri menyebabkan Indonesia rentan terdampak kebijakan proteksi dagang dari negara mitra.
Sementara itu, jika Indonesia ikut melakukan aksi balasan dengan menaikan tarif bea masuk produk asal Amerika, dampaknya bisa langsung terasa pada kenaikan harga sejumlah bahan kebutuhan pokok.
Untuk komoditas kedelai misalnya, menurut catatan Bhima pada 2017 Indonesia mengimpor kedelai segar dan olahan hingga 6,9 juta ton. Dari total impor tersebut sebanyak 2,6 juta ton atau sekitar 37% di antaranya berasal dari AS.
Komoditas lain yang juga rentan terdampak kebijakan dagang adalah gandum. Yang mana impor gandum dari Amerika tahun lalu juga telah mencapai 1,1 juta ton per tahun.
(Baca juga: Soal Ancaman Tarif, Indonesia Siap Lobi AS dan Tempuh Jalur Negosiasi)
"Bahan baku kedelai harganya naik, harga tempe tahu pasti akan naik juga. Gandum juga sama, sebagai bahan baku mie instan," katanya.
Dengan demikian, kelompok masyarakat bawah diperkirakan akan terpukul pertama kali.
Sementara di sisi lain industri dalam negeri, Bhima juga mengkhawatirkan perang dagang akan mengakibatkan permintaan dari negara mitra dagang turun dan berimbas terhadap efisiensi besar-besaran pada perusahaan dalam negeri dan berakhir pada ancaman pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu, ia meminta pemrintah mulai mendata perusahaan yang terimbas perang dagang.
Sebagaia langkah antisipasi, menurutnya pemerintah mesti terus didorong untuk menggiatkan ekspor ke pasar non tradisional. Sehingga, Kkalau pasar Amerika dan Tiongkok terganggu, pemerintah dapat mengirimkan produk ekspor ke negara lain yang masih potensial.
Selain itu, aktivitas misi perdagangan juga perlu ditingkatkan melalui peran duta besar dan atase perdagangan. "Misalnya ditarget duta besar harus bisa naikan ekspor di negara penempatan minimum 10% per tahun, ada kontraknya kalau gagal ya ditarik pulang ke indonesia," ujar dia.
Sementara dari sisi impor, pemerintah bisa mengendalikan dan mengawasi impor barang dari Tiongkok. Sebab, Tiongkok saat ini beresiko mengalihkan kelebihan output produksi ke Indonesia karena pasarnya besar.
(Baca juga: RI Bentuk Kelompok Kerja Antisipasi Perang Dagang AS dan Tiongkok)
Pendapat berbeda mengenai dampak perang dagang dituturkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah. Menurutnya, perang dagang AS-Tiongkok ke Indonesia bisa memberi dampak terbesar pada penurunan ekspor yang juga disertai dengan pelemahan nilai tukar.
Perang dagang berpotensi menurunkan permintaan global terhadap barang ekspor Indonesia sehingga produksi akan turun.
Di sisi lain, dengan rupiah yang terus tertekan, juga berpotensi menimbulkan permasalahan di sektor perbankan dan keuangan. Meski demikian, dampak perang dagang menurutnya tak akan sebesar saat krisis ekonomi 1997-1998.
Selain dampak buruk, Piter juga menilai perang dagang bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk membenahi struktur perekonomian dengan mengurangi ketergantungan impor. "Ditengah menurunnya permintaan global sudah waktunya juga kita untuk memperkuat permintaan domestik," ujar dia.
Menurutnya, ditengah sulitnya mendorong ekspor di tengah penurunan permintaan global, pemerintah sebaiknya memperkuat permintaan domestik agar produksi tidak jatuh.
Terlebih jika ada tambahan pemanis seperti melalui kebijakan pelonggaran likuiditas dari Bank Indonesia. Sebab menurutnya, pemerintah juga harus menciptakan stimulus fiskal guna mendorong peningkatan daya beli masyarakat.
Namun demikian, secara keseluruhan dia menilai Indonesia belum terkena dampak langsung karena belum termasuk dalam negara global value chain. Negara yang paling terkena dampak negatif ialah negara produsen utama dan negara kategori global value chain seperti Singapura dan Malaysia.