Kamar Dagang Indonesia meminta pemerintah Indonesia mewaspadai ketidakpastian global akibat dari memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok. Ketidakpastian ini berpotensi memberi celah bagi para spekulan menaikkan harga komoditas, ketika para perwakilan dagang masih meraba jenis komoditas apa saja yang akan dikenakan penambahan tarif.
"Bila ini terjadi yang dikhawatirkan adalah biaya impor/ekspor akan naik dan berpengaruh terhadap biaya produksi yang akhirnya akan dibebankan ke konsumen," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani ketika dihubungi Katadata, Rabu (20/6).
(Baca : Pemerintah Antisipasi Lonjakan Impor Dampak Perang Dagang Tiongkok-AS)
Untuk itu, Shinta menilai Indonesia perlu menunggu kejelasan, baik dari AS maupun Tiongkok. Di luar itu, AS juga tengah melakukan peninjauan kembali program pembebasan tarif bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu (Generalized System of Preferences/GSP) dari Indonesia.
"Tanpa (GSP) ini tarif yang harus dibayar akan tinggi dan produk kita seperti garmen dan tekstil bisa menjadi tidak kompetetif," kata Shinta.
Dia pun menuturkan, perang dagang AS dan Tiongkok belum berdampak signifikan terhadap perdagangan Indonesia.
Perang dagang AS-Tiongkok yang terjadi sebelumnya nyatanya tidak menghasilkan pengalihan perdagangan (trade diversion) dari kedua negara ke Indonesia.
Adapun target komoditas Tiongkok yang akan dikenakan penambahan tarif hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Karenanya, dia menilai Indonesia masih perlu melihat komoditas apa saja yang akan dikenakan tarif dan bagaimana Tiongkok merespon, baru kemudian dapat menentukan komoditas apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai peluang ekspor.
Sementara bagi sektor industri, dampak perang dagang AS-Tiongkok juga ke Indonesia dinilai cukup minim karena industri dalam negeri didorong oleh kebutuhan bahan baku. Demikian pula halnya di sektor pertanian, Indonesia memiliki mekanisme sendiri mengatur suplai impor produk, seperti melalui kuota. Sehingga kebijakan itu diperkirakan dapat menahan potensi masuknya komoditas pertanian impor.
(Baca Juga : Trump Ancam Beri Tambahan Tarif untuk Produk Tiongkok US$ 200 Miliar)
Konflik perdagangan Amerika Serikat dan Tiongkok semakin memanas. Baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif tambahan baru sebesar 10% atas barang-barang Tiongkok senilai US$ 200 miliar.
Dalam pernyataannya, Trump mengatakan telah meminta Perwakilan Perdagangan AS untuk mengidentifikasi produk-produk China yang harus dikenakan tarif baru. Dia mengatakan langkah itu merupakan balasan atas keputusan Tiongkok untuk menaikkan tarif sebesar US$ 50 miliar terhadap sejumlah barang-barang AS.
Konflik perdagangan AS dan Tiongkok semakin terbuka, setelah proses negosiasi gagal menyelesaikan keluhan AS atas kebijakan industri negeri tirai bambu. Kurangnya akses pasar di Tiongkok dan defisit perdagangan AS sebesar US$ 375 miliar disinyalir menjadi alasan AS untuk terus memberlakukan kebijakan proteksionis dalam beberapa hubungan dagangnya.
Pada Jumat (16/6) lalu, Trump memutuskan untuk mengenakan tarif 25% pada produk China senilai US$ 50 miliar. Hal itu lantas direspon Tiongkok dengan mengenakan tarif balasan.
Trump mengatakan jika China menaikkan lagi tarifnya sebagai tanggapan atas langkah AS terakhir, pihaknya akan melakukan tindakan lain dengan mengenakan tarif tambahan barang senilai US$ 200 miliar.