Industri manufaktur diprediksi akan gencar mendorong produksinya setelah masa libur panjang Lebaran tahun ini. Peningkatan produktivitas tersebut diharapkan bisa berkontribusi positif terhadap pertumbuhan kinerja kuartal III 2018 dari periode sebelumnya.
“Kemarin moda transportasi barang sempat dibatasi dengan adanya liburan yang cukup lama dari biasanya. Tetapi ini bisa dikejar pada kuartal III nanti,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (19/6).
Menperin menyebut, momentum pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang berlangsung tahun ini di berbagai wilayah di Indonesia, bisa menjadi salah satu pendorong meningkatnya permintaan barang masyarakat. Dengan meningkatnya permintaan, secara otomatis industri manufaktur akan meningkatkan produktivitasnya.
(Baca : Momen Pilkada Bisa Dongkrak Bisnis Makanan & Minuman Tumbuh 10%)
“Apalagi nanti juga ada Pemilu, tentu demand produknya lebih banyak lagi,” ujarnya.
Airlangga pun menyebutkan, beberapa sektor manufaktur yang berpeluang tumbuh karena mendulang permintaan domestik yang tinggi selama bulan Ramadan dan pilkada, antara lain industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), serta industri alas kaki. “Bahkan, industri printing juga akan meningkat,” ungkapnya.
Dikonfirmasi secara terpisah, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman justru mengungkapkan pendapat berbeda. Menurut Ade, demand tekstil dan produk tekstil (tpt) dalam negeri setelah momen hari raya Idul Fitri biasanya tak terlalu signifikan. Karena kebutuhan masyarakat akan baju baru akan lebih rendah dibanding sebelum Lebaran. Meski demikian, Ade menyebut potensi peningkatan permintaan justru ada di pasar ekspor, khususnya untuk jenis produk garmen.
"Mungkin (ekspor) akan tumbuh di atas 5% hingga akhir tahun," ujar Ade kepada Katadata, Selasa (19/6).
Menurutnya, industri garmen Indonesia akan terus meningkat di pasar ekspor karena Indonesia merupakan salah satu produsen yang patuh terhadap peraturan yang diwajibkan oleh pihak pembeli. Sedangkan untuk ekspor produk TPT diperkirakan stagnan, karena sulitnya menembus pasar ekspor, khususnya Eropa, karena terganjal isu lingkungan.
"Itu yang menjadi isu dan menyebabkan pembeli dunia tidak akan sembarangan memberikan order kepada industri yang mencemari lingkungan," katanya.
Dengan merebaknya isu lingkungan tersebut, Ade berharap hal itu bisa menjadi perhatian pemerintah dalam membuat regulasi dan petunjuk teknis. Sebab, saat ini seluruh izin pendirian pabrik dan produksi berada di tangan pemerintah. Jika tidak ada regulasi dan petunjuk yang tepat, maka dikhawatirkan akan menjadikan pelaku industri nakal sembarangan melakukan kegiatan produksinya. Akibatnya hasil produksi tpt dapat ditolak di pasar ekspor.
(Baca juga : Kompetisi Pasar Ketat, Ekspor Tekstil Tertekan)
Terlebih lagi, Ade sebelumnya menuturkan, persaingan tpt di pasar ekspor saat ini semakin ketat. Yang mana selama 5 tahun terakhir, ekspor tekstil ke Amerika Serikat (AS) dan Eropa mengalami penurunan. Menurut Ade, permintaan tekstil dari kedua tujuan ekspor tersebut mulai beralih Bangladesh dan Vietnam seiring dengan perjanjian dagang yang telah diteken kedua negara dengan Uni-Eropa. Sementara itu. India juga telah mulai melakukan ekspansi untuk produk tekstil ke AS.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) yang diolah API, total ekspor tekstil Indonesia sepanjang tahun lalu mencapai US$ 11,83 miliar. Negara tujuan ekspor tekstil dalam negeri paling banyak adalah Amerika Serikat (AS) sebesar 32,34%, Uni Eropa 14,97%, dan Jepang 10,08%.
(Baca : Perjanjian Dagang Uni Eropa Bakal Naikkan Ekpor Tekstil 3 Kali Lipat)