Impor Beras dalam Jumlah Besar Akan Bebani Keuangan Bulog

ANTARA FOTO/Rahmad
Tumpukan beras di Gudang Bulog di Lhokseumawe, Aceh, 31 Januari 2018.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
8/6/2018, 18.41 WIB

Penugasan impor beras dalam jumlah besar dari pemerintah dinilai membebani keuangan  Bulog.  Sebab, kompensasi dari pemerintah untuk penggantian modal baru bisa diberikan setelah beras impor berhasil didistribusikan Bulog.

Direktur Pengadaan Bulog menyatakan, selaku operator Bulog akan melakukan  impor  sesuai penugasan. “Tetapi hal itu tentu dengan melihat kemampuan kami secara finansial,” kata Andrianto kepada Katadata, Jumat (8/6).

Dana pembelian beras impor untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dilakukan Bulog saat ini sebagian didanai dari kas  internal Bulog dan pinjaman perbankan. Sedangkan dana  talangan beras impor dari pemerintah, biasanya baru akan cair ketika Bulog sudah melakukan penyaluran untuk stabilisasi harga pangan, bantuan bencana alam, dan bantuan sosial Natura.

(Baca : Bulog : Cadangan Beras Pemerintah Minus 27 Ribu Ton)

Menurutnya, beban keuangan perusahaan makin berat ketika terjadi kenaikan harga jual beras di pasar dunia. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), sepanjang  Januari hingga Mei 2017,  rata-rata harga beras Vietnam sekitar US$ 345 per ton. Sementara  harga beras Thailand sebesar US$ 382 per ton. Angka itu melonjak drastis dibandingkan periode sama tahun ini: beras Vietnam kini harganya US$ 426 per ton sedangkan  beras Thailand US$ 480 per ton.

Di sisi lain,  jika impor beras besar maka Bulog pun harus menyediakan dolar Amerika Serikat (AS) dalam jumlah besar. Karena itu, pelemahan nilai tukar terahadap dolar AS juga bisa memberi tekanan lebih tehadap beban keuangan perusahaan,  “Nilai dolar AS sekarang sedang tinggi,” ujarnya.

Menurut data perusahaan,  per 7 Juni 2018, stok beras Bulog telah sebesar 1,52 juta ton dengan rincian  1,37 ton cadangan beras pemerintah (CBP) dan 144 ribu ton beras komersial. Adapun total penyerapan dalam negeri  telah mencapai 914 ribu ton.

Sementara itu, realisasi impor beras yang dilakukan Bulog  per 28 Mei 2018 jumlahnya telah sebesar  561 ribu ton.

Opsi impor pun masih akan dilakukan Bulog apabila penyerapan dalam negeri terhambat, terutama pada musim kemarau. Meski demikian, Andrianto mengaku sudah memulai beberapa langkah untuk optimalisasi pembelian gabah dan beras petani.

Bulog telah bekerja sama dengan Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) binaan Kementerian Pertanian untuk penyerapan. Kesepakatannya, Gapoktan yang mendapatkan bantuan pengering dari pemerintah akan menjual produksi ke Bulog.

Selain itu, Bulog telah menggandeng perbankan BUMN untuk memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada petani. Nantinya, petani yang mendapatkan pendanaan wajib menjual gabah dan beras ke Bulog. “Kami berkoordinasi dengan perbankan,” katanya.

Langkah antisipasi dilakukan Bulog karena harga beras pada musim panen gadu lebih tinggi. Namun, Andrianto enggan berkomentar lebih lanjut terkait angka produksi karena hal tersebut telah menjadi ranah Kementerian pertanian. 

Dikonfirmasi secara terpisah, Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga enggan menjelaskan  potensi produksi padi pada musim gadu atau musim kemarau nanti. “Pokoknya lebih tinggi dibandingkan tahun lalu,” ujar Amran.

Begitu juga dengan Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi ketika dikonfirmasi Katadata melalui sambungan telepon.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa, meminta pemerintah serius dalam menangani masalah pangan, terutama beras. Dia menyebut Bulog seharusnya memiliki profil keuangan yang baik serta memadai dalam menjalankan penugasan pemerintah.

(Baca Juga : Di Bawah Buwas, Bulog Masih Enggan Eksekusi Impor Beras)

Karena, selain sebagai operator  pemerintah, Bulog juga memiliki peran sebagai perusahaan berorientasi bisnis sehingga harus menghasilkan keuntungan. “Bulog selalu menanggung risiko, pemerintah harus memberikan permodalan yang jelas dalam setiap  penugasan,” kata Dwi.

Dia menilai opsi impor pun masih harus dilakukan sesuai  izin yang diberikan Kementerian Perdagangan sebesar 1 juta ton. Alasannya, produksi panen gadu  2018  diperkirakan bakal mengalami kendala.

Mengutip laporan Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AP2TI) telah terjadi kekeringan di Wonogiri, Madura, dan Ngawi. Dengan begitu, Dwi mengungkapkan cuaca tahun ini diprediksi akan lebih terik dibandingkan sebelumnya. “Cuaca yang terik memicu kelembaban tanah akan lebih rendah,” ujarnya.