Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akhirnya memberikan penjelasan mengenai kronologis di balik keputusan izin impor beras sejumlah total 1 juta ton sepanjang 2018. Enggar mengatakan, keputusan impor dilakukan berdasarkan perhitungan ketersediaan suplai produksi beras dari petani.
Argumen itu mematahkan pernyataan Direktur Utama Bulog Budi Waseso dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman bersikeras menolak impor.
Enggar mengatakan, kebijakan impor beras diputuskan berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pada Februari 2018. Rapat kala itu dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan dihadiri Menteri Pertanian Amran Sulaiman, pihak Kementerian BUMN, dan Direktur Utama Bulog saat itu, Djarot Kusumayakti.
Menurutnya keputusan impor itu diambil lantaran melihat stok beras di gudang beras yang mulai menipis, sementara tingkat kebutuhan diprediksi terus meningkat. “Kebijakan diputuskan karena suplai beras yang kurang,” kata Enggar di Jakarta, Kamis (24/5).
Per 23 Mei 2018, stok beras di gudang Bulog tercatat sekitar 1,3 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebesar 791.911 ton merupakan serapan beras milik petani, sedangkan 532.526 ton merupakan kontribusi dari beras impor.
(Baca : Simpang Siur Data Impor Satu Juta Ton Beras di Kabinet Jokowi)
Sementara menurut catatan Bulog, per Januari-Mei 2017 total penyerapan beras Bulog telah sebesar 1,1 juta ton, sedangkan pada periode yang sama 2016 jumlah angka serapan juga telah mencapai 1,3 juta ton.
Jumlah penyerapan beras petani yang tidak sampai 1 juta ton di tahun ini juga yang menjadi alasan utama impor harus dilakukan. Pasalnya, stok beras yang ada di gudang Bulog menjadi faktor psikologis mengontrol harga beras di tingkat konsumen.
Enggar pun mempertanyakan sikap Budi Waseso dan Amran Sulaiman yang menentang impor. Pasalnya, Bulog hanya bertugas melaksanakan keputusan Rakortas. “Kalau tidak mau impor ke depan ya silakan, sekarang keputusan bersama,” ujarnya.
Sementara itu, untuk menuntaskan masalah perbedaan data komoditas pangan yang kerap dituding menjadi biang keladi di balik keputusan impor, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan tengah menyelesaikan metode Kerangka Sampel Area (KSA) untuk menghitung data produksi. Rencananya, KSA akan dirilis pada Agustus 2018.
KSAdiharapkan bakal menjadi salah satu acuan untuk penentu kebijakan. Namun, kebijakan impor diputuskan dengan pertimbangan data stok dan juga data harga. Impor pun tidak menolong turunnya harga.
(Baca : Kemendag Akui Ada Tambahan Impor Beras 500 Ribu Ton)
Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata beras kualitas medium bertengger di level Rp 11.850 sejak 24 April 2018 sampai 24 Mei 2018. Angka itu masih berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium di tiga wilayah adalah Rp 9.450, Rp 9.950, dan Rp 10.250.
“Harga sudah turun tipis meski tidak sampai taraf yang kita inginkan,” ujar Suhariyanto.
Sebelumnya, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menyatakan pihaknya menyesalkan kebijakan impor. Dia melarang kebijakan itu dilakukan dengan pertimbangan stok beras yang ada.
“Tidak boleh ada impor lagi, dasar dari kebijakan impor kan kalau cadangan beras Bulog sudah di bawah 1 juta ton,” kata Agung, Jumat (11/5).
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyatakan tidak akan mendatangkan beras impor tambahan sebesar 500 ribu ton dalam waktu dekat. Terlebih dahulu, Bulog akan menghitung data produksi beras dengan sejumlah pihak, seperti Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS).
“Menteri Pertanian mengatakan sedang surplus. Sekarang saya hitung daerah mana saja yang surplus dengan kemampuan gudang Bulog,” kata pria yang kerap disapa Buwas, Kamis (17/5).
Belum jelas kapan target waktu penyelesaian penghitungan data produksi itu rampung. Tapi dia berharap bisa menyelesaikan secepatnya.