Kemendag Buka Izin Impor 1,1 Juta Ton Gula Mentah untuk Konsumsi

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Pemerintah telah membuka izin impor gula mentah konsumsi sebesar 1,1 juta ton.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
19/5/2018, 05.00 WIB

Kementerian Perdagangan menyatakan telah menerbitkan Surat Perizinan Impor (SPI) komoditas gula mentah (raw sugar)  sebesar 1,1 juta ton untuk kebutuhan konsumsi. Keputusan impor dilakukan atas perhitungan produksi dan kebutuhan dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

“Beberapa waktu lalu sudah saya keluarkan izinnya,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwandi Jakarta, Kamis (17/5) malam.

Oke menuturkan saat ini produksi gula nasional diperkirakan hanya bisa mencapai 2,2 juta ton. Hal itu terjadi lantaran pabrik gula tak bisa berproduksi hingga Mei 2018 karena ada  musim panen.

Sementara itu, jumlah persediaan gula petani yang ada di gudang Bulog dan gudang BUMN jumlahnya sekitar 800 ribu ton. Adapun, konsumsi gula nasional sepanjang 2018 diperkirakan mencapai 2,9 juta ton. Sedangkan Januari-Mei 2019 total kebutuhan gula diperkirakan mencapai 1,1 juta ton.

Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengakui produksi gula petani saat ini jumlahnya  memang relatif terbatas seiring dengan  produktivitas yang rendah. Meski demikian, dia juga tak mendukung impor gula yang dilakukan pemerintah karena jumlahnya terlalu banyak dan direalisasikan ketika petani mulai panen.

(Baca : Kementan Minta Impor Gula untuk Konsumsi Dilakukan Bertahap)

“Kami baru mulai melakukan penggilingan tebu kenapa izin impornya dikeluarkan,” ujar Soemitro.

Dia pun menilai izin impor yang diberikan pemerintah sebesar 1,1 juta ton terlalu banyak. Menurut data neraca gula Asosiasi Pengusaha Gula Indonesia (APGI) , untuk memenuhi kebituhan konsumsi, Indonesia hanya kekurangan guka sebanyak 500 ribu ton.

Karena itu, menurutnya pemerintah seharusnya mengeluarkan aturan kuota impor agar  gula petani terserap maksimal. Pasalnya, dia tidak yakin gula petani bisa terserap oleh pedagang dan Bulog.

Dia mengusulkan sebuah peraturan, dimana pemerintah nantinya harus mewajibkan  importir gula untuk menyerap gula hasil petani lokal ketika melakukan impor. Misalnya, pengusaha mendapatkan izin impor  40 ribu ton, maka sebagian di antaranya diharuskan berasal dari petani lokal.  

Dengan begitu, stok gula petani tidak menumpuk di gudang dan dapat dicampur dengan gula impor. Soemitro pun menyebutkan,  bahwa saat ini harga gula impor dengan gula hasil produksi lokal sulit bersaing. Karena harga gula impor bisa dijual lebih murah yakni sekitar  Rp 6 ribu per kilogram, sedangkan gula petani, untuk Biaya Pokok Produksi (BPP) sendiri saat ini sudah sebesar Rp 10.900.

(Baca Juga : Menteri Darmin Tolak Usul Kementan Revisi Harga Gula Petani)

Karenanya, jika komposisi gula impor dan gula petani bisa dicampur, maka harga bisa jadi lebih murah. “Petani juga untung karena barangnya laku,” katanya.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Gula Indonesia (APGI) menyebut stok gula nasional sudah mulai menipis. Sehingga, konsumsi gula hingga Mei 2018 bakal dipenuhi dari sisa stok dan hasil produksi November serta Desember 2017.

“Panen sudah berakhir sehingga sudah tidak ada produksi lagi,” kata Ketua APGI Piko Njoto Setiadi, Maret lalu.

Dia menjelaskan rata-rata kebutuhan gula konsumsi nasional saat ini sebesar 200 ribu hingga 225 ribu ton. Angka tersebut biasanya akan melonjak hingga 20% menjelang puasa dan Lebaran karena kebutuhan gula untuk bahan baku makanan hari raya lebih tinggi.

Namun peningkatan demand tak diikuti dengan kenaikan  produksi, lantaran panen baru akan terjadi pada Mei 2018. Karenanya perlu upaya pemerintah dan para pelaku usaha dalam menstabilkan harga, terlebih selama masa puasa dan Lebaran.