Pemerintah akan mengevaluasi pembatasan ekspor karet dalam Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) pada akhir Mei. Melalui kesepakatan ini, Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang tergabung dalam International Triparte Rubber Council (ITRC) berkomitmen menahan pengiriman ekspor sebanyak 350 ribu ton dari Desember 2017 hingga Maret 2018.

Direktur Perundingan APEC dan Organisasi Internasional, Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Deny Wachyudi Kurnia menyatakan evaluasi akan menilai efektivitas AETS. “Penilaiannya tergantung beberapa hal termasuk determinasi politik dan komitmen menanggapi mekanisme pasar,” kata Deny kepada Katadata, Senin (7/5).

Dalam komitmen ketiga negara ini, Indonesia membatasi ekspor karet 95.190 ton, Thailand 234.810 ton, dan Malaysia 20.000 ton. Denny berharap, sebagai produsen karet terbesar dunia, anggota ITRC tak mengingkari kesepakata tersebut. Disiplin dalam AETS akan berdampak pada kesuksesan program yang dijalankan ketiga negara, yaitu untuk mengerek harga karet di tingkat internasional.

(Baca juga: Pembatasan Ekspor Belum Berdampak Signifikan ke Harga Karet Dunia).

Sejauh ini, International Rubber Consortium (IRCo) mencatat AETS tidak menolong kenaikan harga karet produksi Indonesia. Pada 22 Desember 2017, harga Standar Indonesia Rubber (SIR) 20 sebesar Rp 19.475 per kilogram lalu merosot menjadi Rp 18.673 per kilogram pada penutupan AETS 29 Maret 2018.

(Baca pula: Beri Nilai Tambah,  Petani Minta Pemerintah Dorong Hilirisasi).

Sebelumnya, Denny sempat menyatakan walau kesepakatan AETS berakhir, kemungkinan ada  negara yang masih membatasi ekspor. Hal itu untuk memenuhi target pengurangan penjualan karet ke luaar negeri yang belum tercapai. Keputusan negara yang mesti melaksanakannya ditentukan dalam evaluasi AETS pada bulan ini.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo membenarkan AETS belum signifikan dalam meningkatkan harga jual karet dunia. Meski begitu, pembatasan dianggap dapat mengurangi tekanan penurunan harga jual sehingga tidak anjlok terlalu dalam. “Kebijakan AETS sudah menjadi teknis, tidak lagi fundamental,” ujar Moenardji, beberapa waktu lalu.