Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull untuk membahas berbagai kerja sama bilateral antara kedua negara. Pembahasan perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) menjadi salah satu fokus utama pembicaraan.
Jokowi mengungkapkan RCEP adalah pertaruhan terhadap sistem perdagangan multilateral di kawasan yang saling menguntungkan semua pihak. Ia juga menyebut kerja sama perdagangan regional tersebut bisa menjadi antitesa proteksionisme global.
“Ke depan ASEAN-Australia harus menjadi jangkar bagi sistem perdagangan bebas yang terbuka dan adil demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat kita di kawasan,” katanya dalam ketetangan resmi dari Australia, Minggu (18/3).
(Baca : Jadi Tuan Rumah Perundingan RCEP, Indonesia Fokus Penguatan Ekspor)
Menurutnya, kemitraan ekonomi regional akan menguntungkan semua pihak. Karenanya ia berharap semua pihak berkomitmen menyelesaikan perundingan RCEP pada 2018. RCEP merupakan perundingan 16 negara dan sekarang telah melalui 21 putaran.
Jokowi mengungkapkan, RCEP dapat menjadi pakta perdagangan bebas terbesar dunia, pasalnya kerja sama tersebut mewakili hampir setengah populasi dunia, 31,6% dari Gross Domestic Product (GDP) global dan 28,5% dari perdagangan dunia. ”Tentu dalam sebuah kesepakatan tidak semua yang kita inginkan dapat kita capai. Inilah sesungguhnya makna dari kerja sama, pendekatan win-win dan bukan zero-sum,” jelasnya.
Secara kolektif, negara-negara RCEP menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 23,8 triliun pada 2016, atau dua kali lipat lebih besar dibanding PDB negara-negara Trans Pacific Partnership (TPP), di luar Amerika Serikat. Berbeda dengan TPP, pasar RCEP terus tumbuh dinamis sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya kelas menengah.
Selain mengenai kerjasama ekonomi regional,, kedua kepala negara menceritakan kemajuan perundingan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). Perundingan telah mencapai melalui 11 putaran dan berharap perundingan tersebut bisa selesai tahun ini.
(baca juga : India dan Tiongkok Jadi Mitra Prioritas ASEAN di RCEP)
“Presiden Jokowi berpesan agar Australia tidak menilai CEPA ini hanya dari aspek komersial jangka pendek, tetapi juga dari aspek sosial jangka menengah dan panjang khususnya terkait kesejahteraan dan peningkatan kapasitas serta pembentukan ‘power house’ antara kedua negara sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang bertemu Menteri Perdagangan, Turisme, dan Investasi Australia Steven Ciobo.
Penyelesaian perundingan CEPA sempat tertunda meskipun kedua pihak telah mengintensifkan perundingan di semua tingkatan menjelang akhir tahun 2017. Setelah melakukan refleksi untuk mengkaji dengan jernih perbedaan posisi yang ada, kedua tim perunding melakukan konsultasi pada 6-7 Maret 2018 lalu di Sydney. Dari pertemuan ini, kedua tim perunding akan kembali bertemu guna mengidentifikasi sejumlah isu.
Dalam pertemuan di Sydney kali ini, kedua Menteri menekankan perlunya sebuah paket kesepakatan yang dapat diterima baik oleh pemangku kepentingan kedua negara. “Kami ingin perjanjian yang diterima baik oleh pemangku kepentingan kedua negara. Perbedaan tingkat pembangunan kedua negara menyebabkan adanya perbedaan. Apa yang dapat diterima oleh Indonesia belum tentu dapat diterima Australia, dan sebaliknya. Inilah gap atau jurang yang akan kita coba jembatani,” ujar Enggar.