Pemerintah berencana memperketat pengawasan impor gandum. Volume impor gandum yang terus melonjak dalam beberapa tahun terakhir menjadikan Kementerian Perdagangan lebih berhati-hati dalam memberi perizinan.
Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan, impor gandum sepanjang 2017 mencapai 11,4 juta ton. Volumenya meningkat 9% dibandingkan dengan realisasi 2016 yang sebesar 10,53 juta ton.
Sementara jika dirunut berdasarkan kode HS, impor gandum bukan untuk manusia (10019999) pada 2017 tercatat sebesar 204 ribu, turun 89% dibandingkan 2016 yang mencapai 1,8 juta ton. Namun, ada peningkatan impor gandum untuk konsumsi manusia (10019919) mencapai 170%, dari 1,4 juta menjadi 3,2 juta.
(Baca : Kebutuhan Meningkat, Impor Gandum Diprediksi Capai 11,8 Juta Ton)
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan peningkatan impor gandum dalam beberapa tahun terakhir disebabkan karena adanya pergeseran pola penggunaan pakan ternak dari jagung ke gandum. Namun, ia juga menduga lonjakan impor gandum disebabkan oleh adanya pengaturan kode Harmonization System (HS) oleh importir.
“Patut diduga ada permainan kode HS,” ujar Enggar.
Pasalnya dari total impor gandum pada 2017 sebesar 11,4 juta ton, sekitar 10,1 juta ton dialokasikan untuk keperluan industri dan 1,3 juta ton sisanya untuk pakan. Dimana impor gandum untuk keperluan pakan turun sebesar 37%, sementara industri naik sebesar 21% dari tahun sebelumnya.
“Berdasarkan rapat koordinasi, saya diminta untuk menata impor gandum,” kata Enggar di Jakarta, Rabu (21/2).
Sementara itu dikonformasi secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Fransiscus Welirang menuturkan bahwa impor gandum untuk keperluan industri pada tahun lalu jumlahnya hanya mencapai 8,3 juta ton.
Menurutnya, impor gandum industri sebagian besar digunakan sebagai bahan baku pengolahan tepung terigu dengan total kebutuhan industrinya sebesar 8 juta ton, sementara sisanya menjadi komoditas ekspor. Karenanya, Fransiscus menduga lonjakan impor gandum bisa jadi disebabkan oleh kebutuhan dari sektor pakan ternak. "Kebutuhan industri sekitar 8 juta ton, sebab konsumsi tepung terigu dalam negeri hanya sekitar 7,9 juta ton," ujarnya.
Sementara itu, Ketua I Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Johan menjelaskan kebutuhan impor gandum untuk pakan ternak tahun lalu hanya sekitar 200 ribu ton dengan rekomendasi dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
“Gandum untuk pakan hanya membantu produktivitas sebagai tambahan campuran,” kata Johan.
Menurutnya, gandum hanya menjadi bagian campuran dari pakan konsentrat, karena ternak umumnya lebih menyukai jagung ketimbang gandum. Pasalnya dalam campuran pakan konsentrat, gandum hanya diperlukan sebanyak 30%, sedangkan campuran utamanya masih tetap berasal dari jagung sebesar 50% dan katul 20%.
(Baca : Harga dan Mutu, Alasan Pelaku Industri Memilih Jagung Impor)
Sementara ketika disinggung mengenai kuota impor industri pakan tahun ini, ia menyebut hingga saat ini belum mendapatkan rekomendasi impor dari kementerian terkait. “Total realisasinya mungkin tidak lebih dari kemarin,” tuturnya.
Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap impor gandum. Tahun ini impor gandum diprediksi mencapai 11,8 juta ton sering dengan besarnya kebutuhan baik dari sektor industri maupun pakan.
Bahkan impor gandum Indonesia tahun ini diprediksi bakal menembus angka 12,5 juta ton, menurut kajian United States Development of Agriculture (USDA) dalam sebuah laporannya. Dengan angka tersebut, Indonesia diprediksi bakal menjadi negara pengimpor gandum terbesar, menggeser posisi Mesir yang secara tradisional telah menjadi pengimpor gandum terbesar dunia.
USDA memperkirakan peningkatan terjadi karena permintaan makanan yang tumbuh oleh banyaknya populasi Penduduk Indonesia. Meningkatnya pendapatan masyarakat juga disertai oleh kebutuhan akan pasta, mie instan, serta kebutuhan pakan. Adapun empat negara penyuplai gandum terbesar ke Indonesia menurut catatan USDA adalah Australia, Kanada, Ukraina, dan Amerika Serikat.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa menilai impor gandum untuk kebutuhan pakan ternak relatif tinggi antara lain terkait program swasembada jagung nasional. Jagung lokal yang diproteksi mengakibatkan impor gandum untuk pakan ternak meningkat.
“Akibatnya, impor gandum untuk pakan ternak melonjak drastis, tahun 2016 nilainya sangat tinggi mencapai 3 juta ton, itu pertama kali,” jelas Dwi.
Padahal, spesifikasi jagung yang ditanam petani Indonesia memenuhi standar sebagai pakan ternak. Namun, pemerintah memaksakan jagung yang ditanam untuk bahan pangan masyarakat.