Neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2018 mengalami defisit sebesar US$ 670 juta. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rapor merah perdagangan internasional itu terdorong oleh kenaikan impor secara tahunan (year on year/yoy) sebesar 26,44%.
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan neraca perdagangan yang negatif pada Januari 2018 melanjutkan tren Desember 2017 yang tercatat minus US$ 0,22 miliar. "Kenaikan impor sangat tinggi, curam,” kata Suharyanto di Kantor BPS Jakarta, Kamis (15/2).
BPS mencatat impor Indonesia pada Januari 2018 mencapai US$ 15,13 miliar, naik tipis dibandingkan Desember 2017 sebesar 0,26%. Namun, dibandingkan Januari 2017 kenaikannya cukup signifikan hingga mencapai 26,44%.
(Baca : Ekspor Nonmigas Sokong Neraca Dagang 2017 Surplus US$ 11,84 Miliar)
Sementara untuk kinerja ekspor, kendati mengalami surplus di sektor non migas sebesar US$ 182,6 juta secara tahunan dengan angka ekspor non migas sebesar US$ 13,16 miliar, namun jumlahnya belum mampu mengimbangi besaran kinerja impor. Pada Januari 2018, total ekspor Indonesia mencetak angka sebesar US$ 14,45 miliar, turun tipis 2,81% dibanding Desember 2017. Sementara secara tahunan, dibandingkan Januari 2017, ekspor meningkat 7,86%.
“Kembali mengalami defisit, tentu kita berharap ekspor bisa terpacu,” tutur Suhariyanto.
Tingginya impor Indonesia pada bulan lalu masih disumbang oleh sektor migas dengan realisasi impor sebesar US$ 2,14 miliar, yang juga lebih tinggi dibanding kinerja ekspor migas sebesar US$ 1,28 miliar. Sementara dari jenis produk, impor migas tertinggi juga masih ditopang oleh produk hasil minyak sebesar US$ 1,32 miliar dan minyak mentah US$ 573,6 juta. Tingginya impor hasil minyak dibanding angka ekspor menyebabkan defisit perdagangan hasil minyak relatif drastis hingga US$ 1,23 miliar.
“Kalau kita bandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya, surplus non migas tipis,” ujar Suhariyanto.
Selain itu, BPS juga mencatat transaksi impor menurut golongan penggunaan barang yang dilihat secara bulanan, impor barang konsumsi mengalami penurunan 1,46%, bahan baku atau bahan penolong naik 2,34%, dan bahan modal turun 7,39%. Namun menurutnya yang juga cukup mengejutkan, jika melihat angka secara tahunan, ada kenaikan signifikan terkait impor barang konsumsi 32,98%, bahan baku/penolong 24,76%, dan barang modal 30,90%.
(baca juga : Harga Minyak Dunia Naik, Defisit Neraca Dagang Terancam Berlanjut)
“Kenaikan impor konsumsi paling tinggi meski share-nya kecil,” jelas Suhariyanto.
Sementara dari sisi pasar, Suharyanto mengatakan pada bulan Januari 2018 tidak terjadi perubahan pangsa ekspor nonmigas Indonesia. Ekspor non migas ke Tiongkok mencapai pangsa 13,93% atau US$ 1,92 miliar, diikuti Amerika Serikat sebesar 11,20% atau US$ 1,54 miliar serta Jepang US$ 1,39 miliar. Di samping itu, India, Singapura, Malaysisa, Thailand, Australia,Jerman, Belanda, Korea Selatan, Italia dan Taiwan menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia.
Namun ia mengaku khawatir pangsa pasar Indonesia ke tiga negara tujuan utama yang mencapai porsi 36,81% bakal memberi ketergantungan. “Ketergantungan kita sangat besar, kita perlu untuk meluaskan pasar ekspor,” katanya.
Senada dengan yang diungkap kepala BPS, Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI), Josua Pardede menuturkan bahwa saat ini konsentrasi mitra dagang Indonesia masih terpusat pada negara tersebut. Karenanya Indonesia harus didorong untuk bisa mencari negara mitra dagang baru guna mengantisipasi jika terjadi perlambatan pertumbuhan di salah satu negara tujuan utama ekspor.
"Indonesia seharusnya bisa mulai explore trading partner lain, mengantisipasi perlambatan manufaktur Tiongkok," ujarnya kepada Katadata, Kamis (15/2) .
Sedangkan terkait defisit neraca perdagangan Indonesia di Januari 2018, ia menuturkan bahwa defisit perdagangan secara month to month (MoM) memang sudah terlihat dari tren lanjutan sejak bulan sebelumnya.
Selain itu, Josua mengungkapkan, secara bulanan ada kecenderungan sedikit penurunan volume pada laju aktifitas manufaktur dan perdagangan utama Indonesia karena terdorong oleh penurunan permintaan dari mitra dagang utama Indonesia, seperti China, Jepang dan India yang pada akhirnya menyebabkan ekspor turun. Padahal harga sejumlah komoditas sedang mengalami peningkatan seperti minyak sawit mentah (CPO) yang naik 7 %(MoM), batu bara naik 7% (MoM), dan karet alam naik harganya 3 persen (MoM) terdorong kenaikan harga minyak dunia sebesar 10% (MoM),
"Faktor penurunan volume yang terjadi pada periode bulanan menyebabkan angka impor meningkat melanjutkan trend kenaikan di Desember 2017," tuturnya.
Namun menurutnya, yang cukup mengejukan adalah ketika impor bahan baku yang naik." Ini merupakan sinyal bagus buat ekonomi, dimana kenaikan impor bukan berasal dari barang konsumsi. Itu artinya ada aktifitas produksi di dalam negeri," ujarnya.
Dengan begitu dia memperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2018 mencapai US$ 10 miliar hingga US$ 11 miliar, menyusut dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan tahun lalu yang tercatat sebesar US$ 12 miliar.