Industri kelapa sawit Indonesia mencatat sejarah. Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada 2017 mencapai US$ 22,97 miliar, naik 26% dibandingkan 2016 sebesar US$ 18,22 miliar. Melonjaknya ekspor menyebabkan nilai sumbangan devisa minyak sawit ikut meningkat.
“Nilai ekspor minyak sawit tahun 2017 merupakan nilai tertinggi yang pernah dicapai sepanjang sejarah ekspor,” kata Sekretaris Jenderal Gapki Togar Sitanggang kepada wartawan di Jakarta, Selasa (30/1).
Adapun secara volume, ekspor minyak sawit Indonesia pada 2017 juga tercatat tumbuh 23,6% menjadi 31,05 juta ton dari 25,11 juta ton pada 2016, di luar ekspor biodiesel dan oleochemical. Peningkatan ekspor itu terjadi seiring dengan perluasan pasar ekspor non tradisional.
Data Gapki, volume ekspor minyak sawit ke pasar non tradisional seperti Afrika melonjak tajam hingga 50% dari 1,52 juta ton menjadi 2,29 juta ton pada 2017 . Sedangkan ekspor ke Timur Tengah juga meningkat sebesar 7%, dari 1,98 juta ton menjadi 2,12 juta ton.
Adapun ekspor minyak sawit Indonesia ke beberapa negara tujuan utama juga terus mencatat trend positif. Dimana ekspor ke India pada 2017 naik 32%, dari 5,78 juta ton menjadi 7,63 juta ton serta Tiongkok yang angka naik 16%, dari 3,23 juta ton ke 3,73 juta ton serta.
Permintaan yang cukup tinggi juga datang dari Uni Eropa, dimana ekspor ke negara tersebut tercatat meningkat 15%, dari 4,37 juta ton menjadi 5,03 juta ton di 2017 diikuti ekspor ke Amerika Serikat (AS) naik 9%, dari 1,08 juta ton ke 1,18 juta ton serta ekspor ke Bangladesh naik 36%, dari 922,85 ribu ton menjadi 1,26 juta ton.
Harga rata-rata minyak sawit pada 2017 pun tercatat tercatat mengalami peningkatan menjadi sebesar US$ 714,3 per metrik ton dibandingkan 2016 yang hanya sebesar US$ 700,4 per metrik ton.
Gapki memprediksi nilai dan volume ekspor pada 2018 diharapkan sejalan dengan target pertumbuhan produksi sebesar 10%. Untuk mengejar peningkatan tersebut, sejumlah pasar tradisional pun saat ini tengah di sasar seperti Timur Tengah, Iran, dan Pakistan.
Namun, di tengah rencana ekspansi yang tengah dirancang, sayangnya Indonesia masih harus menghadapi isu yang menghambat perdagangan. “Kami tidak optimistis pada 2018 dengan adanya beberapa masalah,” jelasnya.
Menurutnya, pemerintah harus memiliki andil dalam menyelesaikan ada 4 isu utama yang masih mengganjal perdagangan minyak sawit Indonesia di pasar internasional. Misalnya, mengenai kebijakan pemerintah AS yang masih memberlakukan praktik anti-dumping untuk biodiesel Indonesia. Kedua, isu mengenai resolusi Uni Eropa untuk pelarangan biodiesel berbasis minyak sawit pada 2021. Ketiga, isu bea masuk India yang naik dua kali lipat, dan terakhir isu menegenai Rancangan Undang-undang untuk label minyak sawit oleh Australia.
Dengan banyaknya persoalan yang dihadapi tersebut, Gapki meminta pemerintah untuk tidak mengeluarkan regulasi yang menghambat perkembangan industri sawit. “Persepsi negatif terhadap minyak sawit sebagai less healthier dan low quality di beberapa negara masih terus dibicarakan hampir di semua negara pengimpor,” ujar Togar.
Sementara di dalam negeri, Gapki memperkirakan konsumsi domestik akan tumbuh mencapai 5% pada 2018. Pasalnya, pesta demokrasi terjadi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan memicu peningkatan konsumsi.