Indonesia Menangkan Sengketa Biodiesel dengan Uni Eropa

Arief Kamaludin | Katadata
Biodiesel murni dan campuran solar dengan kadar 10 dan 20 persen.
Penulis: Michael Reily
Editor: Pingit Aria
26/1/2018, 15.57 WIB

Indonesia memenangkan 6 gugatan dalam sengketa biodiesel dengan Uni Eropa (UE). Hal itu diputuskan dalam panel Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kemenangan Indonesia akan membuka akses pasar biodiesel Indonesia di Benua Biru.

"Hal ini merupakan bentuk kemenangan telak untuk Indonesia,”  kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam siaran persnya dari Islamabad, Pakistan, Jumat (26/1).

Sebelumnya, Uni Eropa mengenakan bea masuk anti dumping  atas produk biodiesel Indonesia sejak tahun 2013 dengan margin dumping sebesar 8,8%-23,3%. Sejak saat itu, ekspor biodiesel Indonesia ke UE mengalami penurunan.

Berdasarkan data statistik BPS, pada periode 2013–2016 ekspor biodiesel Indonesia ke UE turun sebesar 42,84%, dari US$ 649 juta pada tahun 2013 turun menjadi US$ 150 juta pada tahun 2016. Nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa paling rendah terjadi di tahun 2015 yaitu hanya sebesar US$ 68 juta.

Enggar berharap keputusan WTO dapat memacu kembali kinerja ekspor biodiesel ke Uni Eropa bagi produsen Indonesia, “Jika peningkatan tersebut dapat dipertahankan dalam dua tahun ke depan, maka nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2019 diperkirakan akan mencapai US$ 386 juta dan pada tahun 2022 akan mencapai US$ 1,7 miliar," kata Enggar.

(Baca juga: Resolusi Sawit Uni Eropa Mengecewakan, Pemerintah Bakal Lapor ke WTO)

Dalam sidang, panel WTO menganggap Uni Eropa tidak konsisten dengan peraturan Perjanjian Anti Dumping WTO. Sehingga, WTO memutuskan 6 ketentuan yang dilanggar Uni Eropa.

Pertama, Uni Eropa tidak menggunakan data yang telah disampaikan oleh eksportir Indonesia dalam menghitung biaya produksi. Kedua, mereka tidak menggunakan data biaya-biaya yang terjadi di Indonesia pada penentuan nilai normal untuk dasar penghitungan margin dumping. Ketiga, Uni Eropa menentukan batas keuntungan yang terlalu tinggi untuk industri biodiesel di Indonesia.

Keempat, metode penentuan harga ekspor untuk salah satu eksportir Indonesia tidak sejalan dengan ketentuan. Kelima, Uni Eropa menerapkan pajak yang lebih tinggi dari margin dumping. Keenam, Uni Eropa tidak dapat membuktikan bahwa impor biodiesel asal Indonesia mempunyai efek merugikan terhadap harga biodiesel yang dijual oleh industri domestik mereka.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menekankan, putusan WTO bisa menjadi acuan bagi semua otoritas penyelidikan anti-dumping agar konsisten dengan peraturan WTO, terutama selama proses investigasi.

(Baca juga: Jokowi Yakin ASEAN-India Jadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan)

Ia mengungkapkan pemerintah berkomitmen dalam mengamankan pasar ekspor agar kembali dapat bersaing di pasar negara tujuan ekspor. “Sedangkan bagi otoritas penyelidikan negara lain, tentunya kasus ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi agar berhati-hati saat menuduh Indonesia melakukan praktik dumping,” ujar Oke.

Sementara, Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati meminta Uni Eropa segera mengimplementasikan putusan WTO. “UE diwajibkan melakukan penyesuaian bea masuk antidumping yang telah dikenakan sebelumnya agar sejalan dengan peraturan WTO,” kata Pradnya.

Reporter: Michael Reily