Kekurangan Stok Beras Medium, Indonesia Butuh Impor

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Sejumlah calon pembeli memilih beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta, Senin (7/8).
Penulis: Michael Reily
13/12/2017, 19.03 WIB

Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) oleh pemerintah membuat adanya pergeseran produksi beras medium ke beras premium yang harganya tinggi. Hal ini berakibat pada kelangkaan beras medium di pasaran. Pedagang menyarankan pemerintah membuka opsi impor beras medium, apalagi di tengah masa paceklik seperti sekarang.

"Satu-satunya solusi adalah kita harus impor, karena kita perlu. Kalau sedang panen kita tidak perlu, itu baru kebijakan," kata Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang Zulkifli dalam lokakarya ulasan kebijakan stabilisasi pangan di Jakarta, Rabu (13/12).

Selain sulitnya pasokan beras medium, para pedagang pun lebih memilih menjual beras premium, karena masih mendapatkan keuntungan. Zulkifli mengungkapkan rapat Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perppadi) dan Kementerian Perdagangan menemukan harga gabah paling murah berada di angka Rp 5.500 per kilogram.

Dengan hitungan rendemen atau perbandingan jumlah beras yang bisa dihasilkan dari gabah sebesar 50 persen, produksi 1 kilogram beras medium bisa dijual seharga Rp 11.000. Harga ini sudah lebih tinggi dari HET yang ditetapkan pemerintah untuk HET beras medium sebesar Rp 9.450 per kilogram .

Menurutnya, surplus beras yang diklaim Kementerian Pertanian tidak terbukti. Realita yang ada di lapangan adalah para pedagang kesulitan mendapatkan pasokan beras. "Pasokan beras ke pasar induk sudah jauh berkurang," ujar Zuklifli. (Baca: Bulog Antisipasi Kelangkaan Beras Medium Jelang Natal)

Data Foodstation, pasokan beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) terus berkurang sejak 1 Desember 2017 dengan stok 39.830 ton menjadi 36.738 ton, kemarin (12/12). Jumlah ini memang masih berada di atas batas aman stok beras PIBC berada di angka 30 ribu ton.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah menjelaskan kebijakan HET untuk stabilisasi pangan muncul pada situasi yang berat. Selain musim paceklik, penyebab tingginya harga gabah adalah serangan hama wereng dan virus kerdi di Jawa Barat.

Dengan kondisi ini harga gabah di beberapa daerah sudah cukup tinggi, seperti di Subang, Indramayu, dan Karawang yang bisa mencapai Rp 6.200 per kilogram. Ini berdasarkan pantauan kondisi tiga tempat lahan padi Jawa Barat sejak Agustus hingga Desember.  "Tahun ini gagal panen bisa mencapai 70 persen," ujarnya. 

(Baca juga: Harga Gabah Tinggi, Harga Beras Ikut Naik)

Penggilingan kecil pun menjadi salah satu pihak yang menderita kerugian, karena tidak punya mesin berteknologi tinggi untuk memproduksi beras premium yang butuh spesifikasi lebih bagus daripada beras medium. Padahal, jumlah penggilingan kecil ini mencapai 80 persen dari keseluruhan penggilingan beras nasional. 

Guru Besar Institut Pertanian Bogor Muhammad Firdaus menyatakan biaya produksi 1 kilogram gabah di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara 6 produsen beras di Asia. Selain itu, subsidi yang diberikan kepada petani orientasinya hanya berupa benih.

Menurutnya, pemerintah tidak memperhatikan sifat inelastisitas untuk permintaan dan penawaran komoditas beras. Terlebih, penetapan harga referensi yang dibagi menjadi 2 kategori berdampak kelangkaan stok bagi harga beras kategori yang lebih murah, yakni medium.

(Baca: Pemerintah Ubah Penyaluran Subsidi Pupuk dan Beras)

Ia meminta agar pemerintah tidak hanya menghitung harga berdasarkan suplai, tapi juga dari sisi permintaan. "Dualisme harga referensi memicu kelangkaan stok beras medium yang permintaannya 80 persen, padahal pemerintah harus melindungi permintaan yang lebih tinggi," jelas Firdaus.

Data Informasi Pangan Jakarta pada 12 Desember 2017, harga beras di pasar eceran yang berada di bawah HET hanya jenis IR III Rp 9.405 per kilogram. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) harga rata-rata beras medium di penggilingan Rp 9.117 per kilogram.

Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sadar Subagyo pun mengungkapkan aturan HET tidak memperhatikan jual beli gabah di tingkat hulu dan tengah. Dia merasa sejak awal kebijakan HET memang tidak memiliki dasar yang kuat.

Ia juga meminta pemerintah membuktikan ketersediaan pasokan, apabila klaim surplus beras sebanyak 17 juta ton memang benar. Sebab, prediksi HKTI, ketahanan pangan yang terus menurun karena kurangnya pasokan. "Solusinya bisa impor atau konsumsi nasi masyarakat dikurangi," tuturnya lagi.

Sementara, Anggota Ombudsman Republik Indonesia (RI) Alamsyah Saragih menyatakan masalah utama tata niaga pangan beras ada pada penataan produksi. Kenaikan harga menjadi indikasi kekurangan pasokan. "Kesalahan ada di Menteri Perdagangan kalau harganya tinggi, tetapi kalau stok kurang kesalahan ada di Menteri Pertanian," jelas Alamsyah.

Ia pun menyebutkan kebijakan antiimpor yang diterapkan pemerintah malah membuat impor beras ilegal semakin marak. Saran Alamsyah, Satuan Petugas (Satgas) Pangan seharusnya melakukan pengawasan di daerah perbatasan. Bukan malah bolak-balik memeriksa pasar.

Sebaliknya, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriady membantah kemungkinan impor akan dilakukan tahun depan. Alasannya, pemerintah telah menjaga ketersediaan beras dengan skema panen 1 juta hektare padi panen tiap bulan.

"Tahun lalu ada paceklik, tapi tahun ini tidak ada," ujar Agung.

Menurutnya, operasi pasar yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Bulog cukup untuk menutupi kekurangan pasokan beras medium di daerah. Rinciannya, ada 192 kota yang diberikan lewat seluruh provinsi dengan jumlah distribusi minimal 5 ribu ton.