PT Bukit Asam (Persero) Tbk. bersama dengan PT Pertamina (Persero), PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. menandatangani Head of Agreement (HoA). Kesepakatan kerja sama ini terkait pembangunan pembangunan pabrik guna hilirisasi komoditas batu bara di dalam negeri.
Pembangunan pabrik ini akan menciptakan nilai tambah dari komoditas batu bara. Kemudian bisa mengurangi impor dari produk yang dihasilkan dan bisa dimanfaatkan masing-masing perusahaan. Direktur Utama Bukit Asam (PTBA) Arviyan Arifin menjelaskan melalui penandatanganan kerja sama ini pihaknya akan melakukan gasifikasi batu bara hingga menjadi produk akhir yang memiliki nilai tambah yang tinggi.
Pabrik yang akan dibangun ini akan mengubah batu bara muda menjadi gas (syngas). Selanjutnya diproses kembali menjadi produk petrokimia yakni Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar, bahan baku pupuk urea dan polipropilena sebagai bahan baku plastik.
(Baca: Indonesia dan Vietnam Jalin Kerja Sama Pemanfaatan Gas dan Batu Bara)
"Dengan menciptakan produk akhir yang memiliki kesempatan nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan sekadar produk batubara. Dengan demikian, hal ini diharapkan akan semakin menguntungkan perusahaan,” ujar Arviyan saat konferensi pers usai penandatangan HoA tersebut di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Jumat (8/12).
Proses gasifikasi batubara dan penciptaan produk turunan tersebut akan direalisasikan melalui pembangunan pabrik pengolahan gasifikasi batubara pada Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batubara Tanjung Enim, Sumatera Selatan. BACBIE akan dibangun di satu lokasi yang sama dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Mulut Tambang Sumsel 8.
Pada tahap awal, keempat perusahaan akan melakukan studi kelayakan terkait dengan pendanaan, nilai investasi, dan finalisasi Front End Engineering Design (FEED). Sejalan dengan hal tersebut, keempatnya juga akan melakukan studi Amdal, dan tahap rekayasa, pengadaan, dan konstruksi atau Engineering, Procurement, and Construction (EPC).
(Baca: Inovasi Gasifikasi Batu Bara, Industri Kecil akan Hemat 60 Persen)
Targetnya, proyek ini bisa mulai beroperasi secara komersil pada November 2022. "Sedangkan untuk konstruksi akan dilakukan akhir 2018 atau paling lambat awal 2019," ujar Arviyan. Dari pabrik ini, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasar sebesar 500 ribu ton urea, 400 ribu ton DME dan 450 ribu ton Polypropylene per tahun.
Untuk memenuhi produksi tersebut membutuhkan bahan baku batubara sebesar 9 juta ton per tahun, termasuk untuk kebutuhan bahan bakar pembangkit listriknya. Keempat perusahaan ini akan memanfaatkan sumber daya di dalam negeri yang belum termanfaatkan berupa batu bara peringkat rendah (low rank coal/LRC) yang ketersediaannya masih sangat banyak hingga 50 tahun ke depan.
Direktur Utama Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat berharap dengan kerja sama ini akan tercipta produk gas yang lebih murah dari gas alam yang ada saat ini seharga US$ 6 per juta british thermal unit (mmbtu). Gas memiliki porsi 78 persen dari total biaya produksi pupuk.
"Apalagi ini dekat dengan pabrik Pupuk Sriwijaya yang sangat membutuhkan harga gas yang murah," ujarnya.
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko Pertamina Gigih Prakoso menjelaskan kerjasama ini bisa menghasilkan produk untuk berkontribusi pada ketahanan energi nasioonal. Produk DME bisa dijadikan alternatif pembuatan LPG (Elpiji) yang selama ini masih impor.
Pertamina akan menjadi offtaker (pembeli) utama produk tersebut dan ikut menanamkan modal dalam pembangunan pabrik ini. "Jadi ini bisa jadi diversifikasi bahan baku produk Pertamina," ujarnya. (Baca: Industri Petrokimia Akan Memanfaatkan Batu Bara)
Sementara, Presiden Direktur Chandra Asri Erwin Ciputra menambahkan produk polypropylene yang berbasis batubara ini akan berkontribusi bagi pemenuhan kebutuhan produk tersebut untuk pengembangan industri petrokimia. Hal ini bisa menekan impor bahan baku petrokimia yang cukup besar.
Sayangnya Erwin tidak menyebutkan berapa besar kebutuhan polypropylene di Indonesia, dan berapa banyak yang diimpor setiap tahunnya. "Saat ini, produksi polypropylene belum mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga kerja sama ini akan mengurangi impor yang jumlahnya masih besar dan terus meningkat,” ujarnya.