Gara-gara konsumen pesimistis terhadap ketersediaan lapangan kerja, indeks keyakinan konsumen turun pada bulan Oktober lalu. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengakui, kemampuan industri dalam negeri menyerap tenaga kerja terus menurun.

"Tiap tahun (angkatan kerja) yang terserap di formal job cuma 500 ribu, sisanya menganggur atau kerja ke informal atau UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah)," kata Shinta kepada Katadata, Kamis (9/11). (Baca juga: Survei BI: Keyakinan Konsumen Turun karena Pesimis Lapangan Kerja)

Menurut dia, penyerapan tenaga kerja formal menurun seiring dengan lesunya industri pengolahan atau manufaktur dalam negeri. Secara rinci, ia menyebutkan, kontribusi sektor manufaktur hanya 17,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Agustus 2017, menyusut dari posisi Agustus 2015 yang sebesar 29% dan Agustus 2016 yang sebesar 20%.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang ia terima, serapan tenaga kerja dari investasi yang masuk juga terus menyusut. Pada 2015 yang terserap mencapai 900 ribu pekerja, lalu turun menjadi 700 ribu pekerja di 2016, dan per Juni 2017 hanya 250 ribu pekerja.

Pembangunan infrastruktur secara masif oleh pemerintah juga dinilai Shinta tak mampu mendongkrak penyerapan tenaga kerja. Sebab, pembangunan infrastruktur banyak memakai teknologi baru. Alhasil, serapan tenaga kerjanya pun kecil. "Contoh, pembangunan kereta api ringan (Light Rail Transit/LRT) Bogor -Jakarta hanya 2 ribu orang tenaga kerjanya," ujar dia.

Ia pun menekankan, kondisi penyerapan tenaga kerja ini perlu mendapat perhatian pemerintah. Bila banyak angkatan kerja bekerja sebagai pekerja informal, maka pendapatannya hanya 50-60% dari upah minimum. “Ini bahaya banget,” kata dia.

Salah satu solusinya, menurut Shinta, yaitu pemerintah harus memperbanyak wirausaha baru. Namun, ia mengakui solusi tersebut tak bisa terealisasi dalam waktu segera. Di luar itu, ia mendorong pemerintah untuk memperbaiki ekosistem ketenagakerjaan. "Yang paling penting juga harus ada labor reform terutama perbaikan UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan," kata dia.

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 128,06 juta orang pada Agustus 2017, bertambah 2,62 juta orang dalam setahun. Dari jumlah tersebut, penduduk yang bekerja tercatat sebanyak 121,02 juta orang, naik 2,61 juta orang dalam setahun. (Baca juga: BPS Duga Pengangguran Maluku Tertinggi karena Usaha Perikanan Terpukul)

Dengan perkembangan tersebut, jumlah pengangguran bertambah 10 ribu dalam setahun menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017. Penurunan tenaga kerja utamanya terjadi di sektor pertanian dan pertambangan. Di sisi lain, BPS juga mengindikasikan penyerapan tenaga kerja tumbuh melambat di sektor konstruksi. (Baca juga: Pengangguran Naik 10 Ribu Setahun, BPS Bantah Karena Retail Tutup)

Adapun dari total penduduk bekerja yang sebesar 121,02 juta orang, status pekerjaan yang terbanyak adalah buruh/karyawan 39,71%, lalu diikuti berusaha sendiri 19,13%, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar 14,89%, dan pekerja keluarga 12,26%. Sementara penduduk yang bekerja dengan status berusaha dibantu buruh memiliki persentase yang paling kecil yaitu 3,26%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri optimistis penyerapan tenaga kerja bakal membaik seiring dengan kenaikan tinggi investasi dan ekspor. Berdasarkan data BPS, pada kuartal III 2017, investasi swasta tumbuh 7,11% dan ekspor 17,26% secara tahunan. “Oleh karena itu momentumnya kami jaga,” ucapnya. (Baca juga: Pemerintah Gencar Salurkan Bansos untuk Dongkrak Daya Beli)