Perusahaan raksasa produsen barang-barang konsumsi (consumer goods) di Indonesia, Vietnam dan India, mengalami penurunan penjualan antara 3% hingga 7% pada kuartal II tahun ini. Penurunan tersebut ditengarai oleh kondisi ekonomi dunia yang masih lesu sehingga memukul daya beli konsumen domestik di masing-masing negara.
Penjualan kuartal II-2017 yang dilaporkan oleh dua perusahaan barang-barang konsumsi di Indonesia, yang dapat mewakili pengukuran daya beli masyarakat, menurun sekitar 3%. Produsen deterjen Rinso dan es krim Wall's, PT Unilever Indonesia Tbk, mencatatkan penjualan Rp 10,42 triliun selama periode April-Juni 2017 atau turun 3,3% dibandingkan periode sama tahun lalu.
Bahkan, secara kuartalan, penjualan Unilever pada kuartal II-2017 turun 3,9% dibandingkan periode Januari-Maret 2017 yang mencapai Rp 10,84 triliun. (Baca: Penjualan Unilever dan Mayora Semester I Melemah, Indofood Stagnan)
Sementara itu, produsen Indomie dan susu Indomilk, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, juga mengalami penurunan penjualan 2,7% menjadi Rp 9 triliun pada periode April-Juni 2017, dibanding Rp 9,25 triliun pada periode sama tahun lalu.
Perusahaan sejenis di India dan Vietnam juga mengalami hal serupa. Dabur India Ltd, produsen sabun, deterjen dan minuman, mengalami penurunan penjualan 4,7% pada periode Januari-Maret, dibanding periode sama tahun lalu.
Sementara itu, perusahaan produsen barang-barang konsumsi di Vietnam, yakni Vietnam Dairy Products JSC, pada periode April-Juni 2017 mencatatkan penurunan penjualan 7,2% dibandingkan periode sama 2017.
Jika dilihat lebih detail, penurunan penjualan Unilever Indonesia lebih disebabkan oleh lesunya permintaan produk-produk kebutuhan rumah dan individu (home & personal care) daripada produk makanan. Penjualan Unilever dari Divisi Home & Personal Care turun 4,7% pada kuartal kedua tahun ini, sementara Divisi Foods & Refreshment, yang mencakup es krim dan makanan ringan, hanya turun 0,2%.
Sejumlah ekonom dan pengurus asosiasi di dalam negeri terbelah dalam menyimpulkan tingkat penurunan daya beli yang dirasakan belakangan ini. Sebagian berpendapat bahwa penurunan daya beli sudah mencemaskan, sementara sebagian lain menganggap masih dalam batasan yang wajar.
Sementara itu, kalangan dunia usaha belakangan ini melaporkan adanya anomali dalam perekonomian, karena indikator ekonomi makro bagus, tapi di sektor mikro menunjukkan penurunan penjualan.
Jika memotret kondisi sepanjang tahun ini, memang ada perbedaan antara data tiga bulan terakhir dan enam bulan terakhir. Data enam bulan atau periode Januari-Juni masih terlihat lebih baik. Namun, data penjualan tiga bulan terakhir (April-Juni) yang lebih menggambarkan kondisi terkini daya beli masyarakat, menunjukkan tren penurunan.
Indofood CBP Sukses Makmur misalnya, dalam enam bulan terakhir masih menunjukan kenaikan penjualan sebesar 1,6% dibanding periode sama tahun lalu. (Baca: Ekonom: Daya Beli Stagnan Gara-gara Pemerintah Buat Gaduh)
Data Nielsen, berdasarkan laporan riset Mandiri Sekuritas, menunjukkan bahwa nilai penjualan 55 kategori produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) selama periode Januari-Mei 2017 tumbuh 3,4%. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang tumbuh 10,7%.
Sedangkan secara volume, penjualan FMCG selama lima bulan pertama tahun ini hanya tumbuh di bawah 1%, lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 6%.
Sebagian masyarakat memang mengeluh selama dua bulan terakhir ini menghadapi kenaikan kebutuhan biaya pendidikan. Dikutip dari harian Kompas, Neneng Asmawati (36 tahun), karyawan pengawas kebersihan di Pluit, Jakarta, mengatakan bahwa penghasilannya saat ini diprioritaskan untuk pendidikan anaknya. Sejak awal Ramadan 2017, dia mengurangi makan daging untuk menghemat pengeluaran.