Pemerintah Didesak Perpanjang Moratorium Pembukaan Lahan

Arief Kamaludin|KATADATA
Petani membawa hasil panen kelapa sawitnya di salah satu perkebunan di Riau.
Penulis: Muhammad Firman
Editor: Pingit Aria
12/5/2017, 15.32 WIB

Sawit Watch, organisasi nirlaba sektor kelapa sawit, mendesak pemerintah untuk meperpanjang moratorium pembukaan lahan. Sebab, Instruksi Presiden nomor 8 tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut akan berakhir pada Sabtu (13/5) esok.

“Kami menilai moratorium sawit dianggap sebagai merupakan momentum baik untuk melakukan perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit,”  kata Direktur Sawit Watch Inda Fatinaware dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/5).

Inda mengatakan, perkebunan kelapa sawit di Indonesia sarat akan beragam masalah. Misalnya  kerusakan lingkungan, konflik sosial, kondisi buruh yang terabaikan, sampai ancaman terhadap ketersediaan pangan.

(Baca juga:  Jokowi Evaluasi Badan Restorasi Gambut, Target Tetap 2 Juta Hektare)

Selain itu, luas perkebunan sawit yang mencapai 16,18 juta hektar tidak berimbang dengan produktivitasnya masih sangat rendah. Rata-rata produktivitas minyak kelapa sawit Indonesia hanya 3,7 ton per hektar per tahun.

“Pemerintah seharusnya melakukan intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas, bukan dengan memperluas lahan,” katanya.

Inda mengatakan industri hulu kelapa sawit sangat berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan. Menurut catatan Sawit Watch, titik api kebakaran hutan dan lahan biasanya berkaitan dengan konsesi perusahaan.

Buktinya, beberapa tahun setelah kebakaran tejadi, bekas kebakaran lahan tersebut menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit. Kondisi tersebut ditemukan di beberapa wilayah seperti di Riau, Sumsel, Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

(Baca juga: Laju Ekonomi Kuartal I Terdongkrak Kenaikan Kinerja Ekspor)

Tanpa menyebutkan perusahaan mana saja yang melakukan praktik tersebut, Inda menyatakan temuan-temuan Sawit Watch memperkuat dugaan bahwa praktik pembukaan lahan dengan cara membakar masih dilakukan perusahaan perkebunan  kelapa sawit.

Saat ini, Inda menilai bahwa moratorium masih diperlukan untuk memberikan waktu bagi harmonisasi beragam peraturan dan kebijakan di ekosistem gambut. “Bila hal ini tidak secepatnya dilakukan maka ritual bencana asap karena kebakaran hutan dan lahan tiap tahun akan terjadi”, katanya.

Selain itu, Kepala Divisi Kampanye Sawit Watch Maryo Saputra mengatakan jumlah konflik agraria di perkebunan kelapa sawit sepanjang tahun terus meningkat. Peningkatan konflik terutama terjadi di provinsi-provinsi wilayah perusahaan perkebunan kelapa sawit  berekspansi.

(Baca juga:  Sri Mulyani Persilakan KPK Usut Temuan Korupsi Dana Sawit)

Pada tahun 2016 misalnya terdapat 163 konflik dengan luas 601.680 hektare, terbanyak di perkebunan sawit. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2015 dimana terdapat 127 kasus konflik dengan luas 302.526 hektare.

Penyumbang konflik agraria adalah ekspansi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. “Ekspansi perkebunan sawit berkorelasi dengan meningkatnya konflik agraria. Konflik ini semestinya dapat di-rem dengan menghentikan pemberian ijin baru bagi perkebunan kelapa sawit”, katanya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Dalam PP yang diteken pada 1 Desember 2016 tersebut, ia memberlakukan moratorium pembukaan baru atau land clearing pada lahan gambut.

Namun, moratorium hutan dan lahan gambut sebelumnya telah diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun2015. Regulasi inilah yang akan berakhir pada 13 Mei 2017.

Reporter: Muhammad Firman