Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi soal sawit, karena dianggap masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM. Menanggapi resolusi ini, pemerintah telah mengirimkan surat keberatan, karena dianggap diskriminatif.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan resolusi yang dikeluarkan oleh Parlemen Eropa terkait sawit, khususnya di Indonesia ini masih belum merupakan keputusan yang mengikat. Dia juga menganggap resolusi ini sarat dengan kepentingan bisnis. (Baca: Sengketa Biodiesel, Indonesia Gugat Uni Eropa di WTO)
"Saya sudah mengirimkan surat secara resmi kepada Menteri Uni Eropa bahwa kami sangat berkeberatan, karena apa yang disampaikan tidak ada dasarnya dan patut diduga atau ditengarai bahwa ini ada kepentingan bisnis," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (10/4).
Kepentingan bisnis yang dimaksudnya terkait dengan minyak-minyak nabati yang dihasilkan negara-negara Eropa. Enggar mempertanyakan kenapa minyak produksi Eropa tidak dipersoalkan terkait deforestasinya. Padahal, minyak sawit ini cukup penting bagi Indonesia dari sisi perekonomian. Enggar menyatakan, bisnis sawit ini sama pentinggnya dengan perusahaan Airbus di Eropa.
Enggar kembali menekankan, resolusi terkait sawit yang dikeluarkan oleh Parlemen Eropa ini mengada-ada. Alasannya, banyak petani dan tenaga kerja yang cukup berar yang bergantung dari bisnis sawit di Indonesia ini. Sehingga, Enggar tidak mengerti, Hak Asasi Manusia (HAM) mana yang dilanggar oleh Indonesia dalam melakukan bisnis sawit ini.
"ISPO sudah kita lakukan, jadi terlalu mengada-ada kalau hal ini disampaikan di Parlemen Eropa walaupun non-binding," ujar Enggar. Dia khawatir Parlemen Indonesia akan melakukan hal yang sama terhadap produk-produk Eropa. Dampaknya, situasi perdagangan antar negara pun menjadi tidak kondusif akibat adanya perang dagang ini. (Baca: Indonesia Lanjutkan Perundingan Dagang dengan Empat Negara Eropa)
Untuk meluruskan hal ini, Enggar mengatakan akan melakukan komunikasi dengan pihak lainnya seperti duta besar Uni Eropa. Selain itu, pemerintah juga membawa permasalahan ini ke seluruh forum-forum lembaga dunia seperti pertemuan G 20. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga menyampaikan protes keras. "Pemerintah akan mengambil langkah," ujarnya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menganggap resolusi ini merupakan tindakan diskriminatif dan berlawanan dengan posisi Uni Eropa sebagai champion of open, rules based free, and fair trade. "Resolusi ini juga menggunakan data dan informasi yang tidak akurat dan akuntabel, serta melalaikan pendekatan multi-stakeholders," kata Retno dalam keterangannya akhir pekan lalu.
Dia menekankan minyak sawit bukanlah penyebab utama deforestasi. Berdasarkan kajian Komisi Eropa tahun 2013, dari total 239 juta hektare (ha) lahan yang mengalami deforestasi secara global sepanjang 20 tahun, 58 juta ha diakibatkan sektor peternakan, 13 juta ha dari kedelai, 8 juta ha dari jagung, dan 6 juta ha dari minyak sawit. Artinya, minyak sawit dunia hanya berkontribusi 2,5 persen terhadap deforestasi global.
(Baca: Di Depan Hollande, Jokowi Apresiasi Sikap Prancis Soal Sawit)
Menurutnya minyak sawit menjadi bagian dari solusi mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkontribusi positif pada peningkatan permintaan biofuel sebagai pengganti bahan bakar fosil. Minyak sawit merupakan minyak nabati paling produktif. Produksi sawit mencapai 4,27 ton per ha per tahun, sedangkan rapeseed hanya 0,60 ton, bunga matahari 0,52 ton, dan kedelai 0,45 ton.