Jumat pekan lalu, Presiden Donald Trump memerintahkan penelusuran terhadap Negara-negara penyebab defisit neraca perdagangan Amerika Serikat (AS), termasuk Indonesia. Dalam perintah eksekutif itu, Kementerian Perdagangan AS diberi waktu selama 90 hari untuk menyusun laporan detail untuk tiap Negara dan tiap komoditas impor yang membuat defisit neraca perdagangan AS.
Pemerintahan Trump mencurigai dua praktik kecurangan: dumping (menjual barang ke luar negeri dengan harga lebih murah ketimbang di pasar domestik) dan manipulasi mata uang. Jika terbukti, Trump tak segan menerapkan sanksi berupa pengenaan bea masuk tambahan antidumping pada impor komoditas dari Negara terkait.
Lalu, perlukah Indonesia merasa terancam? Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita untuk sementara masih bersikap wait and see. Ia memang meminta perwakilan pemerintah di Washington untuk mengikuti perkembangan masalah ini dengan lekat, namun belum ada langkah nyata yang bisa dilakukan. "Ya kami ikuti dulu. Kami tunggu langkah yang akan ditempuh," ujar Enggar, Rabu (5/4).
(Baca juga: Pengusaha Indonesia Tuduh Produsen Biodiesel Amerika Protektif)
Peneliti INDEF (Institute Development of Economics and Finance) Bhima Yudhistira Adhinegara justru optimistis Indonesia akan “lepas” dari jerat yang disiapkan Trump. “Karena kalau Amerika memaksakan menuduh kita (Indonesia) dumping, industri mereka yang akan kewalahan," kata, Rabu (5/4).
Menurutnya, sebagian besar ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam berbentuk bahan baku mentah. Sementara produk manufaktur yang dikirim ke sana berwujud tekstil atau alas kaki yang tidak akan efisien jika diproduksi dalam negeri karena upah buruh AS yang tinggi.
Nilai Ekspor Non-migas ke Negara Tujuan Utama
"Ini keunggulan komparatif karena biaya tenaga kerja AS memang terlalu tinggi untuk memproduksi tekstil dan garmen," ujarnya.
Bhima menyatakan, perintah eksekutif Trump itu terutama menyasar Tiongkok dan Meksiko. Sebab kedua Negara inilah yang diindikasikan menjadi tujuan relokasi industri manufaktur Amerika Serikat. Sementara Trump dalam kampanyenya menjanjikan untuk mengembalikan kejayaan industri di Negara adikuasa itu.
(Baca juga: Sri Mulyani Kecewa Negara-Negara Besar Tak Jaga Komitmen Dagang)
"Tiongkok itu memang sering kali dituduh melakukan dumping atau manipulasi perdagangan ke Amerika karena dasarnya mereka banyak mengirim produk-produk dengan nilai tambah seperti elektronik,” kata Bhima.
Trump sendiri sempat mencuitkan hal itu melalui akun resminya, pekan lalu. "Pertemuan dengan Tiongkok minggu depan akan menjadi sangat sulit karena kita sudah tidak bisa lagi membiarkan defisit perdagangan yang sangat besar dan hilangnya lapangan pekerjaan." Trump dijadwalkan bertemu Presiden Tiongkok Xi Jinping, Kamis (6/4) waktu AS.
(Baca juga: Mayoritas Direktur Keuangan di AS Ingin Trump Setop 'Berkicau')
Tahun lalu, dari defisit neraca dagang AS sebesar US$ 502 miliar, sekitar US$ 347 miliar di antaranya berasal dari Tiongkok.
Sementara, beberapa Negara lain seperti Jerman, Kanada, Meksiko, Swiss dan Indonesia dimasukkan dalam target telisik karena turut menyumbang defisit AS, meski dalam jumlah lebih kecil. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia tahun lalu hanya mencatatkan surplus sebesar US$ 8, 84 miliar dalam perdagangan dengan Amerika Serikat.