Bahas Perlindungan Konsumen, Jokowi Singgung Vaksin Palsu

Cahyo | Biro Pers Sekretariat Kepresidenan
Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Kamis 9 Juni 2016.
21/3/2017, 18.58 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa dalam lima tahun terakhir, konsumsi masyarakat Indonesia berkontribusi rata-rata 55,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sayangnya, kesadaran konsumen atas hak-haknya masih rendah.

"Jadi konsumen Indonesia baru sampai tahap paham saja, tapi belum mampu memperjuangkan hak mereka," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas soal perlindungan konsumen di kantornya, Jakarta, Selasa (21/3).

Rendahnya kesadaran konsumen itu, menurut Jokowi, tampak dari beberapa data. Dari sisi Indeks Kepercayaan Konsumen misalnya, Indonesia masih memiliki angka yang rendah yakni 30,86 persen apabila dibandingkan dengan Eropa yang mencapai 51,31 persen.

(Baca juga: Pemerintah Desak Pembentukan Dewan Sengketa Jasa Konstruksi)

Begitu pula dengan pengaduan konsumen Indonesia yang rata-rata hanya 4,1 pengaduan per satu juta warga. Angka itu jauh lebih rendah dari jumlah pengaduan di Korea Selatan yang menapai 64 pengaduan per sejuta penduduk.

Begitu pula dengan keberadaan lembaga perlindungan konsumen yang ternyata tidak banyak diketahui masyarakat. "Karena hanya 22,2 persen masyarakat yang mengenal serta tahu fungsi lembaga perlindungan konsumen," katanya.

Dengan rendahnya kesadaran masyarakat tersebut, Jokowi meminta edukasi dilakukan pemerintah. Hal ini lantaran tanpa adanya edukasi, telah banyak kasus yang merugikan, bahkan membahayakan konsumen.

(Baca juga:  Jokowi Tagih Komitmen Investasi Coca Cola Rp 6,7 Triliun)

Ia pun menyebut beberapa contoh, seperti kasus vaksin palsu, makanan kedaluwarsa di pasaran, malapraktik pada layanan kesehatan, keamanan dan kenyamanan transportasi, hingga pembobolan kartu kredit dalam transaksi e-commerce. “Perlindungan konsumen ini sangat terkait dengan kehadiran Negara untuk melindungi masyarakat,” ujarnya.

Apalagi, di pihak lain, Jokowi juga menyoroti kepatuhan produsen terhadap produk Standar Nasional Indonesia hanya 42 persen. “Tentunya angka standar produk yang rendah ini perlu diperbaiki,” katanya.

Sementara itu, untuk mencegah terulangnya peredaran vaksin dan obat-obatan palsu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan memasang QR code dalam produk farmasi. Kode matrik ini akan memudahkan masyarakat melacak jalur distribusi obat atau vaksin dari produsen hingga ke tangannya.

(Baca juga:  BPS Catat Industri Farmasi Tumbuh Paling Tinggi di 2016)

“Dari situ masyarakat akan mengetahui apabila suatu produk obat merupakan produk palsu dan berbahaya,” kata Kepala BPOM Penny Lukito.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution