UU Jasa Konstruksi Terbit untuk Proyek Pemerintah dan Swasta

ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya
Penulis: Miftah Ardhian
21/3/2017, 18.52 WIB

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. UU ini akan menjadi payung hukum bagi semua proyek konstruksi yang ada di Indonesia, baik yang dibangun pemerintah maupun swasta.

Direktur Bina Kelembagaan dan Sumber Daya Jasa Konstruksi Yaya Supriyatna Sumadinata mengatakan UU Jasa Konstruksi yang baru ini memiliki perbedaan dengan UUJasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999 yang berlaku sebelumnya. Perbedaan utamanya adalah UU 2/2017 secara tegas berlaku untuk seluruh proyek konstruksi di dalam negeri. Sedangkan UU 18/1999 tidak menyebutkan secara tegas sasarannya.

"UU ini berlaku untuk seluruh pekerjaan konstruksi di Indonesia baik pendanaannya dari pemerintah maupun private (swasta)," ujar Yaya dalam diskusi di Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (21/3). (Baca: Takut Kriminalisasi, Pengusaha Sambut Undang-undang Konstruksi)

Yaya menambahkan dengan adanya UU Jasa Konstruksi yang baru ini, industri penyedia jasa konstruksi dan penggunanya harus memenuhi peraturan yang ada. Setelah UU ini, pemerintah akan menerbitkan aturan turunannya, yakni berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), hingga Peraturan Menteri (Permen).

Setelah semua aturan ini terbit, pemerintah masih memberikan waktu kepada para penyedia jasa kontruksi untuk memenuhi segala ketentuannya. Waktu yang diberikan adalah dua tahun.

Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemy Francis mengatakan ada beberapa poin penting yang terdapat dalam UU Jasa Konstruksi yang baru ini. Pertama, mendetailkan pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terkait kewenangannya dalam proyek konstruksi.

Kedua, aturan yang ketat terkait perusahaan asing dan juga penggunaan tenaga kerja asing. Dalam UU ini, badan usaha asing harus mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja lokal dibandingkan dengan tenaga kerja asing. Memang, penggunaan tenaga kerja asing tidak dilarang tetapi jumlahnya harus seminimal mungkin. Selain itu, pimpinan perusahaan pun harus diisi oleh tenaga kerja lokal.

"Ini memang sempat menjadi perdebatan kami dalam menyusun UU Jasa Konstruksi," ujar Fary.

Ketiga, adanya aturan terkait dengan proses penetapan kegagalan pembangunan. Penyedia jasa konstruksi harus bisa menghasilkan produk berkualitas, yang terjamin dari sisi keamanan, keselamatan, kesehatan, dan berkelanjutan. Dalam UU sebelumnya, indikator kegagalan pembangunan hanya sebatas ketidaksesuaian antara pekerjaan riil dengan yang dijanjikan.

Penyedia jasa konstruksi harus menjamin tidak ada kegagalan pembangunan dengan jangka waktu maksimal 10 tahun, sesuai dengan daya tahan konstruksi yang dijanjikan sejak awal. "Inti dari pembahasan dan kesepakatan UU ini itu agar bagaimana pelaku jasa konstruksi menjadi tuan rumah di negeri sendiri," ujarnya.

UU ini juga mengatur tentang penyelesaian sengketa antara penyedia dan pengguna jasa konstruksi, atau dengan pihak ketiga. Segala perselisihan yang terjadi akan didorong penyelesaiannya berdasarkan hukum perdata. Bahkan, diharapkan tidak berakhir di pengadilan. (Baca: Pemerintah Desak Pembentukan Dewan Sengketa Jasa Konstruksi)

UU ini mewajibkan penyelidikan yang mendalam oleh ahli, sebelum menyimpulkan penghentian pengerjaan konstruksi. Bahkan, apabila hanya sebatas antara penyedia dan pengguna jasa konstruksi diharapkan dapat membentuk tim khusus untuk menyelesaikan permasalahan secara internal.