Pemerintah menargetkan penyaluran sertifikat tanah pada tahun ini sebanyak enam juta sertifikat. Jumlahnya melonjak dari realisasi tahun lalu sebanyak satu juta sertifikat. Demi mencapai target tersebut, pemerintah melibatkan perbankan.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil menargetkan sebanyak lima juta sertifikat tanah dalam Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) tahun ini disalurkan langsung oleh pemerintah. Anggaran yang disediakan hingga Rp 2 triliun. Sementara, sebanyak satu juta sertifikat disalurkan melalui kemitraan dengan perbankan.
Harapannya, melalui Prona, seluruh lahan sudah terdaftar dan tersertifikasi tahun 2025. “Pemerintah punya program akselerasi, kalau bisa 2025 sudah terdaftar dan sudah tersertifikat 100 persen,” kata Sofyan di Jakarta, Kamis (9/3). Kalaupun target itu tidak tercapai, setidaknya seluruh lahan sudah terdaftar, tercatat, dan terpetakan tahun 2025.
Ia mengatakan, Prona merupakan program percepatan kepemilikan sertifikat tanah bagi penduduk Indonesia. Makanya, dari tahun ke tahun target yang diancang pemerintah kian progresif. Jika tahun ini ditargetkan enam juta sertifikat maka pada tahun depan diharapkan hingga 7 juta sertifikat.
Selain mengandalkan anggaran pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sertifikasi lahan ini juga melibatkan perbankan. Nasabah yang hendak melakukan sertifikasi tanahnya bisa memanfaatkan pendanaan bank. Dengan begitu, pemilikan sertifikat tanah bisa dipercepat. Sofyan mengatakan, selain lima juta sertifikat yang dibiayai APBN, biaya untuk sertifikasi di Pulau Jawa rata-rata Rp 250 ribu.
Saat ini, ada beberapa kota di Indonesia yang telah mendaftarkan seluruh petak ruangnya. Rencananya, Kementerian ATR akan mengumumkan perkembangan sertifikasi di masing-masing kota pada tahun ini. “Kami akan umumkan beberapa kota yang sudah 100 persen, contohnya kota kecil Solo, Surabaya. Tapi Surabaya belum, masih tinggal beberapa ribu (hektare) lagi, Jakarta rencananya tahun ini atau tahun depan," ujar Sofyan.
Namun, Prona bukan tanpa masalah. Seperti diketahui, sejumlah kepala desa di berbagai daerah dikriminalisasi Tim Saber Pungli (sapu bersih pungutan liar) karena dianggap melakukan pungutan liar melalui Prona. Tim Saber Pungli menganggap pungutan liar terjadi, saat seorang kepala desa meminta tarif dari pemohon pengukuran batas tanah untuk syarat administrasi seperti pengadaan patok, biaya materi, pengukuran awal, pemasangan patok, hingga pemberkasan.
Kriminalisasi tersebut memicu protes dari Asosiasi Kepala Desa Jawa Timur. Menurut Asosiasi, mereka tidak melakukan pungli saat meminta biaya administrasi. Sebab, hal itu memang tidak dianggarkan dan diperbolehkan oleh BPN. Asosiasi telah melanjutkan protes tersebut ke Presiden Joko Widodo lewat surat yang dikirim Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur dan Kementerian Desa.
Menanggapi persoalan tersebut, Sofyan mengatakan akan berkonsultasi dengan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal agar pengurusan Prona bisa memakai dana desa . "Nah kami akan coba koordinasi dengan Kementerian Desa. Apakah dana ini bisa digunakan," katanya.