Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan bukti awal dugaan kartel cabai rawit di sejumlah daerah. Kesimpulan soal adanya permainan kotor di tingkat bandar itu didapat setelah penelusuran sejak Januari lalu.
"KPPU terus berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Kami bertukar data dan informasi di lapangan," kata Syarkawi, Rabu (8/3).
Ketua KPPU Syarkawi Rauf menjelaskan, kenaikan harga cabai sejak Desember 2016 lalu disebabkan oleh dua hal. Selain karena produksi menurun, penguasaan stok dalam skala besar oleh beberapa Bandar dan pengepul turut membuat harga melonjak tinggi.
(Baca juga: Inflasi Januari Ditaksir 0,69 Persen Tersulut Harga Cabai dan Listrik)
Menurutnya, dengan hasil panen yang merosot sekitar 30 persen karena cuaca buruk, maksimal hanya akan menaikkan harga dari kisaran Rp 45 ribu per kilogram menjadi sekitar Rp 90 ribu per kilogram. Kenyataannya, di beberapa daerah seperti ada di kawasan seperti Jabodetabek dan Sumatera Barat bisa meroket sampai Rp 140.000 hingga Rp 165.000 per kilogram.
“Ini tidak wajar, jadi pasti ada yang main,” katanya.
Syarkawi menyatakan, cabai rawit yang dihasilkan petani biasanya dijual pada pengepul, lalu ke Bandar, agen, baru pengecer di pasar. Ia mencurigai bandar punya peran besar memainkan stok dan harga perasa pedah ini.
“Di Jabodetabek, hanya ada tiga bandar yang menguasai pembelian pada pengepul. Dugaan kami, mereka lah yang main,” katanya.
(Baca juga: Menteri Amran Bantah Harga Cabai Rawit Penyebab Inflasi Tinggi)
Sementara, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Mabes Polri telah menetapkan tiga tersangka dalam jaringan kartel cabai di Jawa Tengah. Polisi kini tengah mengembangkan penyelidikan dan menganntongi Sembilan kelompok pengepul yang menentukan harga cabai di Jawa.
Modusnya, mereka menawarkan stok cabai yang harusnya dijual ke pasar pada korporasi dengan harga mencapai Rp 180 ribu per kilogram. “Ini yang bikin langka caai di pasaran,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, Bareskrim Polri, Brigjen Agung Setya.