Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kementerian Perdagangan untuk menghapus penetapan kuota sebagai instrumen pembatasan impor. Sebabnya, penerapan kuota dinilai rawan disalahgunakan oleh para pemburu rente.
Untuk mengontrol impor komoditas strategis, Jokowi lebih memilih pemberlakuan tarif. Meski, dalam penetapan tarif juga ada peraturan-peraturan internasional seperti yang berlaku di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization / WTO) yang harus dikaji.
"Jadi saya minta dipelajari diberlakukannya tarif ataupun kombinasi keduanya (kuota dan tarif). Karena terkait kuota sudah banyak yang masuk sel," kata Jokowi saat membuka rapat kerja Kementerian Perdagangan di Istana Negara, Selasa (21/2).
(Baca juga: Kemendag Pastikan Impor Daging India Tetap Jalan Pasca Putusan MK)
Ditemui usai acara, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan mekanisme kombinasi tarif dan kuota memang sedang dikaji lintas Kementerian di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
"Memang kita mix (kuota dengan tarif), tapi masih kita bahas formulasinya," kata Enggar.
Seperti Jokowi, Enggar juga berharap kombinasi tarif dan kuota ini dapat menghindarkan aparatur negara dari kasus hukum. Tak hanya itu, penerapan tarif juga dapat menunjang pendapatan Negara melalui bea masuk.
Nilai Impor Nonmigas Indonesia Menurut Negara Asal Utama
"Selain itu kalau ada kenaikan (impor) negara akan dapat jumlah tertentu (bea masuk)," kata Enggar.
Sedangkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan menyatakan bahwa kebijakan tersebut dapat berjalan dengan payung hukum berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
(Baca juga: Neraca Dagang Januari Cetak Surplus Tertinggi Sejak Januari 2014)
Dia mencontohkan nantinya apabila ada kebutuhan komoditas tertentu di dalam negeri dengan jumlah 100 ribu, namun importir mendatangkan 150 ribu, maka 100 ribu akan masuk kuota sedang 50 ribu terkena tarif.
"Misal kalau lagi panen di sini, maka kita tinggikan tarif masuknya. Jadi yang kita mainkan dua (instrumen)," kata Oke.
Oke belum merinci komoditas apa saja yang akan dikenakan tarif masuk ini. Dirinya menjelaskan nantinya Kementerian Perdagangan akan mengajak bicara sejumlah instansi lain seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian untuk menentukan apa saja komoditas yang cocok.
"Nanti kita bahas komoditasnya, berapa jumlahnya, dan bagaimana mekanismenya," kata Oke.
Sebelumnya, kasus suap yang cukup menyita perhatian publik di antaranya adalah terkait kuota impor sapi. Dalam kasus yang terjadi pada 2013 tersebut, salah satu yang ditetapkan sebagai tersangka adalah mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq.
(Baca juga: Bertemu Dubes AS, Menperin Ingin Tekstil Indonesia Bebas Bea Masuk)
Luthfi kemudian terbukti menerima suap senilai Rp 1,3 miliar dari direksi perusahaan importir daging sapi PT Indoguna Utama yakni Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi, melalui Ahmad Fathanah.