Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa wisata bahari Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Untuk mengembangkannya, Kementerian Kelautan dan Perikanan pun menggalang kerjasama dengan Kementerian Pariwisata.
“Wisata bahari ini seharusnya menghasilkan uang lebih banyak dari wisata darat,” kata Susi usai penandatanganan nota kesepahaman dengan Menteri Pariwisata Arief Yahya di kantor Kemanterian Kelautan dan Perikanan, Selasa, 7 Februari 2017.
Susi mencontohkan Maldives, Negara kepulauan di Samudra Hindia yang tiap tahun bisa mengeruk devisa sebesar US$ 7 miliar atau sekitar Rp 93 triliun. Sementara wisata bahari Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau baru bisa menghasilkan sekitar US$ 2 miliar atau sekitar Rp 27 triliun. “Padahal Maldives itu kira-kira sebesar Pulau Nias,” ujarnya.
(Baca juga: Menteri Susi: 1.106 Pulau Tak Bernama Siap Didaftarkan ke PBB)
Dalam nota kesepahaman kedua kementerian, bidang yang dikerjasamakan adalah sumber daya manusia, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan unit usaha. Jika terlaksana, program ini akan berpengaruh terhadap kehidupan nelayan.
Lewat program ini, nantinya para nelayan tidak hanya mahir menangkap ikan, tapi juga bisa menjadi pemandu wisata bahari. “Untuk para nelayan, kita akan ubah dari tadinya hanya produksi budidaya saja jadi mahir juga di bidang jasa,” kata Menteri Pariwisata Arief Yahya.
Arief mengatakan capaian yang disasar adalah penciptaan nilai tambah dari serktor jasa bahari. Salah satunya dengan menambah jumlah pemandu wisata. Tahun ini, ia menargetkan tambahan pemandu wisata sebanyak 4 ribu orang. Jumlah itu akan kembali bertambah menjadi 8 ribu orang pada 2018 dan 12 ribu orang pada 2019.
Jumlah Wisatawan Asing yang Berkunjung dan Menginap di Kota-Kota di Asia Tenggara Selama Setahun
Ia mengatakan penambahan tour guide ini dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat setempat. “Yang paling ngerti potensi daerahnya itu kan orang setempat,” katanya.
Dalam pengembangan unit usaha pemerintah akan melakukan sertifikasi terhadap unit usaha yang bergerak di bidang wisata bahari. Kedua kementerian akan menyiapkan program inkubasi bisnis. Program inkubasi akan bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
(Baca juga: Menteri Susi Wajibkan Pengusaha Jamin Asuransi Awak Kapal Perikanan)
“Unit usaha akan kita sertivikasi, nanti kita juga bikin inkubasi. Tahun 2017 ini kita akan sertifikasi sebanyak 1000 unit usaha, pada 2019 akan ada 2000 tersertifikasi,” kata Arief.
Adapun kontribusi wisata bahari tahun lalu hanya sekitar 10 persen dari total penerimaan devisa di sektor pariwisata yang jumlahnya US$ 12,6 miliar atau sekitar Rp 167 triliun. Tahun ini, Kementerian Pariwisata memproyeksikan penerimaan dari wisata bahari sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp 53 triliun.
Arief membandingkan dengan negara tetangga, Malaysia yang mampu meraup hingga 40 persen devisa pariwisatanya dari wisata bahari. “Kontribusinya bisa US$ 8 miliar atau 8 kali lipat kita. Padahal pantai terpanjang adanya di Indonesia, koral terbaik ada di Indonesia,” katanya.
(Baca juga: Garam Kini Bisa Jadi Jaminan Kredit Bank)
Penyebab utama penerimaan devisa dari wisata bahari buruk, menurut Arief berhubungan dengan regulasi yang menghambat. Indonesia masih menggunakan pendekatan keamanan dalam menerima wisatawan, padahal wisata bahari ini merupakan sektor jasa.
“Kalau pariwisata bahari buruk maka hampir bisa dipastikan penyebab utamanya adalah regulasi. Ada untuk lakukan satu kegiatan bahari, ijinnya bisa sampai 21 hari sedangkan Thailand dan Malaysia hanya perlu 1 jam,” katanya.