Pemerintah Akui Kenaikan Cukai Belum Bisa Tekan Konsumsi Rokok

Arief Kamaludin (Katadata)
Penulis: Miftah Ardhian
20/12/2016, 15.42 WIB

Pemerintah telah memutuskan menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 10,54 persen, yang mulai berlaku pada 2017. Namun, upaya ini dinilai masih belum mampu menekan angka konsumsi rokok di Indonesia secara maksimal. Perlu adanya strategi baru selain pengendalian dari sisi industri rokok.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengungkapkan pemerintah memang ingin konsumsi rokok di Indonesia terus menurun. Salah satu upayanya adalah menaikkan tarif cukai. Langkah ini akan membuat harga jual rokok naik, sehingga akan berpengaruh pada konsumsinya.

Meski begitu, Suahasil mengakui bahwa kenaikan cukai rokok ini tidak akan berdampak signifikan dalam penurunan angka konsumsi rokok. "Kami memang ingin konsumsi turun, tapi ini bukan soal fiskal saja tapi juga yang nonfiskal," ujarnya saat pertemuan para ahli mengenai harga rokok dan pembiayaan pembangunan, yang diselenggarakan oleh Center for Health Economics and Policy Studies Universitas Indonesia (CHEPS UI), di Jakarta, Selasa (20/12).

Dari sisi nonfiskal, pemerintah melalui berbagai Kementerian harus bersinergi untuk menekan angka konsumsi rokok. Menurutnya, perlu adanya pelarangan-pelarangan di berbagai fasilitas umum yang ada seperti sekolah, kantor, pesantren dan seterusnya.

Regulasi mengenai pelarangan penjualan kepada anak di bawah umum juga perlu diperketat dan kampanye bahaya rokok di kemasannya perlu terus dilakukan.

BKF mencatat produksi rokok sejak 2013 hingga sekarang stagnan di angka 340 miliar batang. Tahun ini, diproyeksikan terjadi penurunan 1,3 persen atau sekitar 3 miliar batang. Selama delapan tahun terakhir, jumlah pabrik rokok pun menyusut, dari 4.669 pabrik menjadi hanya 713 pabrik saat ini.

Pemerintah ingin agar produksi rokok ini cenderung tetap, agar industrinya bisa terus hidup. Makanya Kementerian Keuangan tidak menaikkan tarif cukai langsung tinggi, tapi secara bertahap. Hal ini dilakukan guna melindungi industri rokok yang juga menyerap banyak tenaga kerja.

"Kami harap produksi cenderung tetap. Jadi pendapatan cukai juga kami naikkan terus bertahap, harga jual ecerannya juga bisa kami naikkan terus," ujar nya.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Ekonomi Kesehatan Donald Pardede mengatakan pendekatan untuk menekan konsumsi rokok ini harus dilakukan secara komprehensif. Dari sisi permintaan dan penawaran pun harus ada langkah-langkah pengendalian, sehingga, bukan hanya mengandalkan kebijakan fiskal untuk sisi penawarannya saja.

"Masih banyak hal dari sisi demand yang bisa kita kendalikan. Dari sisi kampanye dan edukasi akan memberi dampak yang lebih besar," ujarnya.

Menurutnya dampak yang diberikan rokok ini sangat merugikan, seperti kehilangan usia produktif, penyakit, dan ekonomi masyarakat. Pada 2013, biaya pengobatan penyakit yang terkait dengan rokok mencapai Rp 5,35 triliun, bahkan data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai Rp 6,5 triliun. Angka ini 3,7 kali lipat dibandingkan penerimaan cukai tembakau pada tahun yang sama.

Ekonom Senior Prof. Dr. Emil Salim mengatakan Indonesia memiliki bonus demografis dengan angka populasi umur 15-19 tahun yang cukup besar. Pada 2045 populasi tersebut akan menjadi cikal bakal pemimpin Indonesia. Namun, berbagai perusahaan rokok yang ada justru mengincar penjualan produknya untuk umur-umur produktif tersebut. Zat nikotin yang dimiliki rokok, dinilai sebagai penghambat perkembangan otak manusia.

Sehingga, kelak populasi muda tersebut akan teracuni dan tidak memiliki kualitas yang baik di kemudian hari. "Industri rokok adalah industri peracun yang meracuni industri dan generasi kita," ujarnya.