Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta sistem pendidikan kejuruan diubah. Menurutnya, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia saat ini belum banyak mengajarkan keterampilan praktis yang diperlukan dalam dunia kerja.
“SMK kita 70 persen gurunya normatif, bukan guru yg memiliki skill training,” kata Jokowi saat pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Kamis 1 Desember 2016.
Pelajaran normatif, menurut Presiden, di antaranya adalah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), matematika dan fiisika. Sementara keterampilan yang menurutnya lebih diperlukan di dunia kerja termasuk perakitan mesin, bangunan, hingga tata boga.
(Baca juga: Pemerintah Fokuskan Tiga Hal untuk Tingkatkan Daya Saing)
Kondisi itu, menurut Jokowi, berbeda dengan yang terjadi di negara maju seperti Jerman dan Korea Selatan. Praktik itu yang di Jerman dan Korea Selatan terus didorong, bukan pendidikan normatif,” katanya.
Jokowi memang mengambil nspirasi dari Jerman dan Korea Selatan dalam mengembangkan pendidikan vokasional. Metode ini dinilainya akan memberikan nilai tambah pada tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh sekolah menengah. Sistem pendidikan ini juga dinilainya akan sejalan dengan investasi di sektor-sektor tertentu yang memerlukan tenaga kerja terlatih. "Misal investor bangun kawasan wisata tentu perlu tenaga terampil seperti juru masak hingga housekeeping," katanya.
Oleh sebab itu Jokowi meminta Kadin turut memfasilitasi pendidikan vokasional mengingat dunia usaha yang paling paham kebutuhan akan keahlian tenaga kerja. Dia juga telah memberitahu sejumlah menterinya untuk berkoordinasi dengan Kadin tentang kebutuhan pendidikan vokasional. "Jadi tanya yang mengerti, jangan sampai kita beli mesin untuk latihan tapi yang dibeli tidak diperlukan," ujarnya.
(Baca juga: Kadin dan Uni Eropa Rintis Kerjasama Dagang dan Investasi)
Di kesempatan yang sama Ketua Umum Kadin Rosan Perkasa Roeslani menjelaskan pendidikan vokasi ini mengingat masih sedikit jumlah lulusan universitas dalam pasar tenaga kerja Indonesia. “Hanya 10-12 persen yang lulusan universitas,”katanya.
Rosan merinci dari struktur tenaga kerja Indonesia yang mencapai 122 juta orang, 20 persen merupakan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)/ SMK, 19 persen Sekolah Menengah Pertama, serta 50 persen lulusan Sekolah Dasar (SD).