Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan pada September lalu surplus US$ 1,22 miliar atau melonjak empat kali lipat dibanding bulan sebelumnya yang cuma US$ 293,6 juta. Nilai tersebut merupakan surplus neraca dagang tertinggi dalam 13 bulan terakhir.
Lonjakan surplus terjadi karena kinerja impor pada September lalu turun lebih dalam dibanding kinerja ekspor. Ketua BPS Suhariyanto atau yang akrab disapa Ketjuk memaparkan, nilai ekspor bulan lalu sebesar US$ 12,5 miliar atau cuma turun 1,84 persen dibanding bulan sebelumnya (month to month). Sementara impor senilai US$ 11,3 miliar atau turun 8,78 persen.
(Baca juga: Harga Komoditas Naik, Neraca Dagang September Diramal Surplus)
Dari sisi ekspor, menurut Ketjuk, penurunan terbesar terjadi pada ekspor nonmigas berupa perhiasan atau permata yang sebesar US$ 137 juta atau merosot 25,5 persen. Sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada benda-benda dari besi dan baja.
“Benda dari besi dan baja naik US$ 94,3 juta. (Ekspor) terbesar ke Australia dan Thailand,” katanya saat konferensi pers BPS di Jakarta, Senin (17/10). Adapun ekspor migas yang turun paling signifikan adalah minyak mentah yaitu 12,4 persen, lalu diikuti ekspor hasil minyak sebesar 2,02 persen.
Sementara itu, Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan meski kinerjanya masih minus, ekspor sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pangkal soalnya, ada kenaikan harga sejumlah komoditas.
Minyak sawit mentah (crude price oil/CPO), misalnya, harganya naik hampir lima persen. Begitu pun dengan harga batubara. Sayangnya, kenaikan harga ini tidak diimbangi dengan kenaikan permintaan. (Baca juga: Menteri Bambang Peringatkan Bahaya Ketergantungan Komoditas)
Dalam catatan BPS, volume ekspor menurun lima persen dari posisi Agustus menjadi 43,5 juta ton. Rinciannya, volume ekspor migas dan non migas masing-masing terkontraksi enam persen dan lima persen dibanding Agustus lalu. “Volume turun yang paling banyak batubara,” kata dia. Volume ekspor CPO juga turun meski sedikit.
Di sisi impor, Ketjuk menjelaskan, penurunan terjadi lantaran anjloknya impor barang konsumsi dan barang modal. Impor barang konsumsi turun 15,2 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Rinciannya, impor bahan bakar dan pelumas berkurang 27,6 persen, sedangkan impor makanan dan minuman yang diproses turun 17 persen.
Adapun impor barang modal mengalami penurunan 12 persen. Penurunan paling besar terjadi pada barang modal kecuali alat angkutan sebesar 14,6 persen. Kemudian mobil penumpang mengalami penurunan 9,6 persen. Meski begitu, impor barang modal berupa alat angkutan untuk industri naik 17,7 persen.
Penurunan impor juga terjadi pada bahan baku atau bahan penolong yaitu sebesar tujuh persen. Penyebab utamanya adalah penurunan produk dasar untuk industri sebesar 22,2 persen dan yang sudah diproses 12,4 persen. Diikuti dengan penurunan bahan bakar dan pelumas 11,7 persen, serta makanan dan minuman 11,5 persen.
(Baca juga: Permintaan Naik, Surplus Neraca Dagang Agustus Mengecil)
Sasmito menjelaskan, penurunan impor ini terjadi karena sejumlah barang yang semula dipenuhi melalui impor, kini bisa diperoleh di dalam negeri. Sebagai contoh, impor mesin dan peralatan listrik tercatat turun 5,7 persen, tapi ekspornya meningkat 6,8 persen. Ekspor besi baja juga terpantau naik. “Artinya produksi di dalam negeri besar. Otomatis impor turun,” ujar dia.
Dengan perkembangan tersebut, maka secara kumulatif nilai ekspor Indonesia pada periode Januari sampai September 2016 mencapai US$ 104,36 miliar atau lebih rendah 9,4 persen dibanding periode sama tahun 2015. Sedangkan impor mencapai US$ 98,69 miliar atau turun 8,6 persen.