Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan tenaga kerja Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan industri manufaktur. Hal ini lantaran pendidikan mayoritas masyarakat di bawah Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Industri Pemberdayaan Daerah I Made Dana Tangkas mengatakan angka lulusan SD saat ini mencapai 44,2 persen atau setara 50,3 juta. Sedangkan lulusan SMP dan Sekolah Menengah Atas (SMA) berjumlah 44,7 persen atau 51,3 juta. Adapun lulusan perguruan tinggi hanya 11 persen.
“Berdasarkan data ini maka SMK dan SMA belum bisa menghasilkan kebutuhan minimum bagi manufaktur,” kata Made di Jakarta, 9 Agustus 2016. (Baca: Optimisme Konsumen Tertahan Minimnya Lapangan Pekerjaan).
Kebutuhan akan pendidikan vokasional juga penting, namun memerlukan waktu lebih panjang sebelum hal tersebut sepenuhnya siap. Oleh karenanya, Kadin dan pemerintah akan melakukan sejumlah langkah, salah satunya peluncuran program pemagangan. (Baca: Repatriasi Buka Peluang Industri Atasi Minimnya Lapangan Kerja).
Melalui magang diharapkan seluruh lulusan dapat memahami karakteristik utama sektor manufaktur secara lebih dalam. Hal ini akan membantu industri menyerap para pelajar secara spesifik sesuai bidangnya. “Namun kita perlu prototipe sekolahnya harus seperti apa,” kata Made.
Di sisi lain, Kementerian Perindustrian hanya memiliki sembilan SMK, delapan politeknik, serta satu akademi. Menurut Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri Kementerian Perindustrian Mujiyono, jumlah ini belum ideal untuk menyumbang tenaga kerja sektor manufaktur.
Oleh sebab itu dia mendukung program pemagangan digalakkan. “Kami harap Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja, serta Kadin dapat membuat modul resmi pendidikan seperti ini,” kata Mujiyono. (Baca: Ekonomi Lesu, Industri Manufaktur Kuartal II Diprediksi Turun).
Di kesempatan yang sama, Anggota Tim Ahli Keinsinyuran Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Faizal Safa mengatakan tenaga kerja Indonesia juga tertinggal dalam keilmuan yang lebih spesifik seperti teknik. Dia mencontohkan Indonesia hanya memiliki 3.000 insinyur aktif dari total penduduk 240 juta orang.
Angka itu tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Misalnya, Korea Selatan memiliki 25 ribu insinyur dari total 50 juta penduduk. “Jadi ada debottlenecking di sisi keteknikan,” ujarnya.