Menteri Keuangan Amerika Serikat Jack Lew mendesak Cina untuk mengurangi produksi bajanya yang berlebihan karena menggangu stabilitas pasar global. Ia menyampaikan hal ini dalam pertemuan antara kedua negara tersebut untuk membahas isu perdagangan dan keamanan.
Cina, negara penghasil baja terbesar di dunia, dituduh menjual produk-produknya dengan harga di bawah standar pasar. Lew menyebut kapasitas yang berlebih itu juga bisa menggerogoti perekonomian Cina dan menimbulkan inefisiensi. Para pejabat Amerika Serikat berencana menggelar diskusi dengan para mitra Cina mengenai kondisi tersebut dalam pertemuan tahunan yang berlangsung dalam dua hari ini.
“Artinya, ada kekeliruan alokasi sumber daya,” kata Lew seperti dikutip BBC, Selasa, 7 Juni 2016. Akhirnya, Cina pun menjual kelebihan bajanya dengan harga di bawah rata-rata pasar. (Baca: Bertahan dari Serbuan Baja Cina).
Para produsen baja di Eropa pun kini mencemaskan baja murah Cina yang mulai membanjiri wilayah mereka. Namun, Lew menjelaskan, sebenarnya bukan hanya Cina yang mengalami kelebihan produksi, sebagai negara yang menghasilkan lebih dari separuh jumlah baja dunia. Isu ini merupakan persoalan di pasar global, seperti halnya yang terjadi dengan aluminium. Pasar global telah mengalami distorsi karena kelebihan pasokan.
Sebelumnya, pada awal tahun ini, perusahaan baja asal India yaitu Tata Steel, mengumumkan rencana penjualan seluruh usahanya di Inggris karena merugi. Ribuan pekerja terancam dirumahkan. Penyebabnya adalah membludaknya pasokan baja global serta derasnya arus impor ke Eropa. Dua faktor ini membawa dampak jangka panjang terhadap posisi kompetitif perusahaan di Inggris.
Pada 2013, Inggris mengimpor baja dari Cina sebanyak 303 ribu ton. Jumlah ini melonjak drastis menjadi 687 ribu ton di tahun 2014. Dalam 25 tahun, produksi Cina telah tumbuh hingga 12 kali lipat. Sementara itu, kapasitas Amerika Serikat cenderung stagnan. Jumlah baja yang dihasilkan Uni Eropa bahkan anjlok 12 persen.
Pada akhir April lalu BBC melaporkan bahwa yang mendorong meroketnya produksi di Cina adalah pertumbuhan ekonomi double-digit di negara tersebut selama satu dekade terakhir. Kondisi ini membuat permintaan baja domestik di sana meningkat. Begitu juga dengan investasi pemerintah Cina untuk industri baja.
Namun pada akhirnya, Tiongkok kelebihan pasokan produksi dan menyebabkan perlambatan ekonomi yang terjadi saat ini. Negeri Panda itu menghasilkan lebih dari 822 juta ton baja pada 2014. Jumlah tersebut bahkan diprediksi meningkat tahun ini. Padahal, permintaan baja pada tahun ini diprediksi hanya mencapai 672 juta ton.
PRODUKSI BAJA CINA | |
TAHUN | PRODUKSI |
1990 | 66,4 Juta Ton |
2000 | 128.5 Juta Ton |
2010 | 638,7 Juta Ton |
2014 | 822,7 Juta Ton |
Cina kemudian menjual bajanya di pasar internasional dengan harga yang sangat murah. Negara-negara lain kesulitan untuk bersaing.
Meski menjual bajanya dengan harga terlalu rendah, Cina membantah langkah itu dilakukan karena mengalami kerugian. Kantor berita Cina, Xinhua menyebut tudingan terhadap negara tersebut sebagai pemicu persoalan industri baja global merupakan hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan bukanlah alasan untuk melakukan proteksi.
“Mudah saja untuk menyalahkan negara lain. Namun menuding dan melakukan proteksi bukanlah langkah yang produktif,” kata kantor berita tersebut seperti dilansir BBC pada April lalu. (Baca: Pemerintah Genjot Investasi Industri Berorientasi Ekspor).
Saat ini tidak banyak yang bisa dilakukan Cina ketika negara-negara lain memprotes baja murah dari negara itu. Cina sendiri sedang menghadapi persoalan pelik dalam industrinya. Kemungkinan negara ini pun memangkas jumlah tenaga kerja secara masif, yang akhirnya bisa berujung pada ketidakstabilan sosial.
Sementara itu, yang dapat dijalankan negara-negara lain adalah menerapkan tarif impor yang lebih tinggi. Jadi, apabila pabrik Cina menawarkan baja dengan harga murah, negara yang mengimpornya bisa mengenakan pajak tinggi, yang akan membuat harganya lebih mahal.
Langkah ini akan membuat baja dari Cina memiliki harga lebih mahal dan mendorong para produsen domestik di negara pengimpor kembali kompetitif. Tiga negara penghasil baja, yaitu India, Amerika Serikat, dan Indonesia telah menaikkan tarif impor untuk baja dari Cina. (Baca: Daya Saing Industri Konstruksi Masih Lemah).
Namun negara-negara Eropa belum memberlakukan kebijakan serupa, karena Cina merupakan mitra dagang yang besar. Penerapan tarif impor yang lebih tinggi sangat riskan dalam perdagangan di antara mereka.